Wise Word

Minggu, 28 Desember 2008

hahahahah

kau sedang sakiti hatiku
apa kau tau rasanya???

untuk semua hari yang kita lewati
apa pernah terpikir olehmu??

bahwa ku hanya ingin kau rasakan bahagia saja
tanpa kau merasakan sakit yang aku rasa

tapi itupun kau tak sempat melihatnya melintas sesaat
dan itupun tak kau dengar suaranya mendenging

aku cuma butuh seorang istri bukan pacar

Kamis, 25 September 2008

hafalan sholat delisa

Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (si kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.

Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadarinya sholat berjama'ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama ' ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu. Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal
bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan
sholat dengan sempurna. Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

26 Desember 2004
Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya. "Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu. Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada
suara ribut di sekitar, tetap khusuk" Delisa pelan menyebut "ta ' awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar".

Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terbelah seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan. Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti", lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.
Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!

"Innashalati, wanusuki, wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti. .."
Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking? Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah... Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi.Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah "i ' tidal..." "Al-la-hu- ak- bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya. Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari "Arasy
Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh. Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.

Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya. "Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.

Minggu, 2 Januari 2005
Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.

Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu ' alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam. Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian.

Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana. Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.

21 Mei 2005
Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ. Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor
burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai. Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut
di tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.
UMMI....

Rabu, 24 September 2008

Melongok ke Hari Tua


Para tetangga saya yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah setelah pensiun, kelihatannya sangat bahagia. Sementara anak dan menantu yang masih tinggal bersamanya bekerja, mereka lebih banyak bercengkerama / mengasuh cucu di rumah. Di pagi yang cerah, salah satu tetangga (seorang bapak)dengan mendorong sepeda roda tiga mengasuh cucu-cucunya yang masih balita mengelilingi komplek perumahan.

"Wah enak ya pak, menikmati hari-hari bersama cucu?" sanjung saya setulus-tulusnya, seolah bisa merasakan kebahagiaan tetangga itu.

"Ah ya enggak mas, enakan kalau tidak harus mengasuh!" jawabnya dengan sedikit melirihkan suara, takut didengar orang lain dan sambil mengedipkan matanya seolah mengandung maksud. Tentu saja saya agak terperanjat dengan jawaban itu. Sesaat saya belum bisa berpikir lebih jauh karena sudah dilanjutkan dengan obrolan tentang hal-hal lain.

Di kesempatan yang longgar, baru bisa teringat jawaban tetangga itu. Saya mencoba mencari makna di balik jawabannya. Apakah ia bosan/kecapekan selama ini mengasuh cucu-cucunya hanya saja tidak bisa berbuat apa-apa, yang berarti melakukan dengan keterpaksaan? Atau mungkin didorong rasa egoisme seorang pria yang tidak menginginkan kebebasannya tersita dengan hal-hal tentang pengasuhan anak, yang sudah pernah dilakukan ketika mudanya, dan yang menganggap pensiun adalah saatnya bebas dari segala keterikatan? Yang jelas saya jadi merasakan ada "kekurang-nyamanan" dengan tetangga saya.

Apa yang dirasakan dan diinginkan para orang tua usia pensiun? Bagi yang sebelumnya berprofesi wiraswasta, sepertinya waktu berjalan tenang tanpa perubahan mental yang berarti, tetapi bagi karyawan yang melewati 'pensiun' dan yang bisa menghadapi dengan positif, adalah merasakan kebahagiaan bebas dari rutinitas pekerjaan, bisa mengembangkan hobby yang selama ini tertunda, berolahraga, memupuk kualitas hubungan sosial dan ibadah kepada Tuhan, antusiame membangun bisnis sendiri, dll. Sepertinya jarang yang berkeinginan "mengasuh" cucu. Tetapi kebanyakan berkeinginan bercengkerama dengan cucu. Sifat bercengkerama biasanya waktunya relatif singkat tergantung "tingkat kebosanan" sang pencengkerama.

Rasanya saya sudah sedikit memahami makna dibalik jawaban tetangga saya. Mereka mungkin menginginkan bercengkerama tetapi bukan "mengasuh" yang notabene dilakukan terus menerus hingga melewati "tingkat kebosanan"nya. Sejujurnya kebiasaan seorang ayah eh?saya, lebih senang apabila "menerima" anak dalam kondisi yang sudah bersih dan wangi, selanjutnya siap bermain-main, biasanya berhenti sampai si anak ngompol atau be'ol. Bila ini terjadi, selama istri tidak repot, rasanya segan untuk menangani/memberesi sendiri. Meski tahu hal ini sesuatu yang kurang baik dan bertanggung jawab, nyatanya senang melakukan he?he?he?(merasa sudah terlanjur menjadi kebiasaan). Jangan-jangan tetangga itu seperti saya. Meski meyakini masih sebagai tanggung jawabnya, sebagai ayah saja masih merasa segan, apalagi seorang kakek.

Kalau dibandingkan dengan nenek, sepertinya tidak terlalu bermasalah, karena sudah menjadi kebiasaan sejak mudanya. Sering saya mendengar jawaban standar mereka,"Repot sih repot, tetapi gimana ya?dari pada diasuh pembantu, masih lebih baik bila neneknya sendiri, kan cucu-cucu sendiri!"

Memang ada kakek/nenek yang merasakan kasihan terhadap anak/menantunya, yang selain bekerja masih harus mengasuh anak. Mereka dengan senang hati dan keikhlasan tinggi menggantikan peran itu, apalagi sekarang hidupnya menjadi tanggungan anaknya. Hanya saya berpikir bukankah mereka dahulu begitu mandiri bekerja dan mengasuh anaknya sekaligus? Sudah menjadi naluri orang tua bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya(berempati). Selama si anak merasakan itu semua sebagai sesuatu keprihatinan dan "terpaksa", tidak menjadi masalah; tetapi bila merasa itu sebagai "kewajaran", rasanya sangat disayangkan dan tidak pada tempatnya. Kewajiban anak adalah ikut menanggung beban orang tua dimasa tuanya, tanpa membebani dengan suatu tugas sebagai "barter",karena dengan "barter" seperti apapun jasa/budi baik orang tua tidak akan pernah terbalaskan.

Ada juga kakek/nenek "egois" yang mempunyai kebiasaan setiap hari libur "menjemput" cucu-cucunya, sementara anaknya merasa rikuh untuk melarangnya,bahkan saatnya masuk sekolah masih ditahan-tahan. Konon dari segi psikologi hal ini kurang "sehat", karena si cucu kurang berinteraksi dengan orang tuanya yang dihari libur adalah kesempatan untuk memupuk hubungan lebih intens. Bahkan karena "monopoli" sang kakek/nenek, si cucu menjadi jarang berinteraksi dengan anak seusianya.

Karena anak-anaknya semua tinggal di lain tempat/kota, orang tua saya sepertinya kesepian, mereka menginginkan ada salah satu cucunya yang tinggal bersamanya. Namun keinginan itu tidak mudah dituruti, karena cucu-cucunya masih dalam masa-masa yang memerlukan interaksi dan ketergantungan dengan orang tuanya, mungkin setelah akil balig barulah bisa terpenuhinya keinginan itu. Syukur mereka mau mengerti. Keinginan yang manusiawi bila seorang ayah/ibu bisa mengikuti proses perkembangan fisik dan psikis anaknya sendiri dari waktu ke waktu. Berbahagia bagi yang bisa mengakomodir kedua keinginan itu, yang biasanya bertempat tinggal terpisah tetapi relatif dekat untuk mencapainya, sewaktu-waktu kakek/nenek rindu dengan sang cucu bisa mudah mengunjunginya.

Banyak orang orang tua yang hidup terpisah menjadi kesepian dan selalu berharap agar anak cucunya selalu mengunjunginya. Bilamana harapan itu tidak terpenuhi, mereka menjadi sakit hati dan mengungkit-ungkit masa lalu, bahkan tidak jarang menyumpahi anaknya yang dirasa tidak tahu balas budi. Hal ini terjadi biasanya baik orang tua dan anaknya sama sama tidak memahami etika : berbuat baik, melupakan jasa baik dan tahu balas budi.

Bagi orang tua yang sadar telah 'membesarkan' anaknya, selama mereka bisa melupakan jasa baiknya, maka tidak akan timbul harapan-harapan itu, yang berarti tidak ada kesedihan atau masalah, meskipun anak/cucunya benar-benar melupakan. Sebagai orang tua mereka menyadari bahwa kemarahannya juga menjadi kemarahan Tuhan dan keridhoannya menjadi keridhoanNya. Orang tua dengan tingkat pemahaman seperti ini, bisa merasakan "cinta" dan kasih sayang tersebar dimana-mana, tidak hanya kepada anak/cucunya saja. Rasanya kurang hati-hati mudahnya orang tua mengutuk anak yang dianggap durhaka, meski itu manusiawi, seolah menutup kemungkinan perubahan pada anaknya. Bukankah atas kehendakNya waktu dan kondisi bisa merubah sifat manusia.

Bagi anak yang memahami etika di atas, dia akan selalu mengingat budi baik orang tua yang telah diterimanya. Sebagai anak yang berbakti dia akan merawat orang tuanya dengan penuh kesabaran bila sekarang sedang bersamanya dan bila berjauhan akan mengunjungi secara rutin orang tuanya tanpa diminta, meski orang tua tidak mengetahui etika di atas, hal yang menjadi kesedihanya sudah pasti tidak akan pernah terjadi. Salah satu pihak bisa memahami etika itu sudah cukup untuk memberikan keharmonisan, apalagi kedua-duanya mengetahui, tentu semakin tinggi tingkat pengertian antara orang tua dan anak.

Beberapa teman kantor bahkan mempunyai pilihan terakhir yaitu panti wreda (jompo). Mereka membayangkan hidup di panti wreda mungkin lebih "menyenangkan" dan "menyehatkan". Mereka tidak ingin merepotkan anakcucunya, serta JUSTRU ingin menjaga hubungan orang tua dan anak tetap lestari, karena kawatir "ketidak-sabaran" anaknya dalam merawatnya akan menurunkan kualitas hubungan dan hanya akan menambah dosa. Panti wreda memang belum menjadi wacana yang bisa diterima masyarakat umum di Indonesia. Banyak yang menganggap membawa ke panti wreda sama saja "membuang" orang tua, dan kenyataan sekarang ini kebanyakan panti wreda memang untuk mengakomodir "orang-orang terbuang". Di masa mendatang, yang kebanyakan orang Indonesia "sibuk" dengan diri sendiri, boleh jadi panti wreda adalah "tempat elite dan eksklusif" yang ditawarkan developer dan yayasan. Selain adanya paramedis (dokter, perawat dll) yang secara rutin mengontrol kesehatannya, juga ada fasilitas ibadah, fitness centre, olah raga, kolam renang, taman yang asri dengan pohon rindang, perpustakaan dan?tidak tidur di bangsal, tetapi mempunyai rumah/ruang sendiri lengkap dengan fasilitas layaknya "kantor" dan "rumah tinggal". Bisa-bisa para penghuninya akan "melupakan" anak-anaknya, bagaimana tidak karena disana berkumpul teman-temannya yang dulu satu kantor/pekerjaan.

Kita pun akan menjadi tua, kita tidak perlu mengulang pengalaman orang orang tua yang kesepian dan penuh kesedihan, kalau kita bisa mencari bentuk-bentuk penghiburan yang positif dan menyehatkan selain mengharap kedatangan anak/cucu. Ibarat melepaskan anak panah, kita hanya berusaha mengarahkan ke sasaran, anak kita yang melesat ke masa depan mungkin saja tidak bisa kita jumpai. Kita hanya berharap agar tepat sasaran, oleh karenanya tidak ada jalan lain selain terus melatih "ketrampilan memanah" sampai benar-benar lihai.
(Wis-10 Juli 2004)