Wise Word

Kamis, 25 September 2008

hafalan sholat delisa

Ada sebuah keluarga di Lhok Nga - Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (si kembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.

Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadarinya sholat berjama'ah. Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing - Arun yang pulangnya 3 bulan sekali. Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah. Setiap sholat jama ' ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu. Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal
bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan
sholat dengan sempurna. Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa. Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

26 Desember 2004
Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa. Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya. "Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu. Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada
suara ribut di sekitar, tetap khusuk" Delisa pelan menyebut "ta ' awudz". Sedikit gemetar membaca "bismillah". Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. "Allahu Akbar".

Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA. Dasar bumi terbelah seketika! Merekah panjang ratusan kilometer. Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat. Mengirimkan pertanda kelam menakutkan. Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata "wa-ma-ma-ti", lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.
Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa. Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar. Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu. Situasi menjadi panik. Kacau balau. "GEMPAR"!

"Innashalati, wanusuki, wa-ma... wa-ma... wa-ma-yah-ya, wa-ma-ma-ti. .."
Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut... Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking? Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah... Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras ... SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi.Delisa ingin khusuk. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa. Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah "i ' tidal..." "Al-la-hu- ak- bar..." Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya. Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari "Arasy
Allah." Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret. Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh. Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya.

Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya. "Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang...!" Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.

Minggu, 2 Januari 2005
Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.

Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan. Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu ' alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam. Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian.

Hari-hari diliputi duka. Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana. Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. "Orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan." Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.

21 Mei 2005
Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik. Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ. Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor
burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai. Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja. Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah. Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut. Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut
di tangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia. Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.
UMMI....

Rabu, 24 September 2008

Melongok ke Hari Tua


Para tetangga saya yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah setelah pensiun, kelihatannya sangat bahagia. Sementara anak dan menantu yang masih tinggal bersamanya bekerja, mereka lebih banyak bercengkerama / mengasuh cucu di rumah. Di pagi yang cerah, salah satu tetangga (seorang bapak)dengan mendorong sepeda roda tiga mengasuh cucu-cucunya yang masih balita mengelilingi komplek perumahan.

"Wah enak ya pak, menikmati hari-hari bersama cucu?" sanjung saya setulus-tulusnya, seolah bisa merasakan kebahagiaan tetangga itu.

"Ah ya enggak mas, enakan kalau tidak harus mengasuh!" jawabnya dengan sedikit melirihkan suara, takut didengar orang lain dan sambil mengedipkan matanya seolah mengandung maksud. Tentu saja saya agak terperanjat dengan jawaban itu. Sesaat saya belum bisa berpikir lebih jauh karena sudah dilanjutkan dengan obrolan tentang hal-hal lain.

Di kesempatan yang longgar, baru bisa teringat jawaban tetangga itu. Saya mencoba mencari makna di balik jawabannya. Apakah ia bosan/kecapekan selama ini mengasuh cucu-cucunya hanya saja tidak bisa berbuat apa-apa, yang berarti melakukan dengan keterpaksaan? Atau mungkin didorong rasa egoisme seorang pria yang tidak menginginkan kebebasannya tersita dengan hal-hal tentang pengasuhan anak, yang sudah pernah dilakukan ketika mudanya, dan yang menganggap pensiun adalah saatnya bebas dari segala keterikatan? Yang jelas saya jadi merasakan ada "kekurang-nyamanan" dengan tetangga saya.

Apa yang dirasakan dan diinginkan para orang tua usia pensiun? Bagi yang sebelumnya berprofesi wiraswasta, sepertinya waktu berjalan tenang tanpa perubahan mental yang berarti, tetapi bagi karyawan yang melewati 'pensiun' dan yang bisa menghadapi dengan positif, adalah merasakan kebahagiaan bebas dari rutinitas pekerjaan, bisa mengembangkan hobby yang selama ini tertunda, berolahraga, memupuk kualitas hubungan sosial dan ibadah kepada Tuhan, antusiame membangun bisnis sendiri, dll. Sepertinya jarang yang berkeinginan "mengasuh" cucu. Tetapi kebanyakan berkeinginan bercengkerama dengan cucu. Sifat bercengkerama biasanya waktunya relatif singkat tergantung "tingkat kebosanan" sang pencengkerama.

Rasanya saya sudah sedikit memahami makna dibalik jawaban tetangga saya. Mereka mungkin menginginkan bercengkerama tetapi bukan "mengasuh" yang notabene dilakukan terus menerus hingga melewati "tingkat kebosanan"nya. Sejujurnya kebiasaan seorang ayah eh?saya, lebih senang apabila "menerima" anak dalam kondisi yang sudah bersih dan wangi, selanjutnya siap bermain-main, biasanya berhenti sampai si anak ngompol atau be'ol. Bila ini terjadi, selama istri tidak repot, rasanya segan untuk menangani/memberesi sendiri. Meski tahu hal ini sesuatu yang kurang baik dan bertanggung jawab, nyatanya senang melakukan he?he?he?(merasa sudah terlanjur menjadi kebiasaan). Jangan-jangan tetangga itu seperti saya. Meski meyakini masih sebagai tanggung jawabnya, sebagai ayah saja masih merasa segan, apalagi seorang kakek.

Kalau dibandingkan dengan nenek, sepertinya tidak terlalu bermasalah, karena sudah menjadi kebiasaan sejak mudanya. Sering saya mendengar jawaban standar mereka,"Repot sih repot, tetapi gimana ya?dari pada diasuh pembantu, masih lebih baik bila neneknya sendiri, kan cucu-cucu sendiri!"

Memang ada kakek/nenek yang merasakan kasihan terhadap anak/menantunya, yang selain bekerja masih harus mengasuh anak. Mereka dengan senang hati dan keikhlasan tinggi menggantikan peran itu, apalagi sekarang hidupnya menjadi tanggungan anaknya. Hanya saya berpikir bukankah mereka dahulu begitu mandiri bekerja dan mengasuh anaknya sekaligus? Sudah menjadi naluri orang tua bisa merasakan apa yang dirasakan anaknya(berempati). Selama si anak merasakan itu semua sebagai sesuatu keprihatinan dan "terpaksa", tidak menjadi masalah; tetapi bila merasa itu sebagai "kewajaran", rasanya sangat disayangkan dan tidak pada tempatnya. Kewajiban anak adalah ikut menanggung beban orang tua dimasa tuanya, tanpa membebani dengan suatu tugas sebagai "barter",karena dengan "barter" seperti apapun jasa/budi baik orang tua tidak akan pernah terbalaskan.

Ada juga kakek/nenek "egois" yang mempunyai kebiasaan setiap hari libur "menjemput" cucu-cucunya, sementara anaknya merasa rikuh untuk melarangnya,bahkan saatnya masuk sekolah masih ditahan-tahan. Konon dari segi psikologi hal ini kurang "sehat", karena si cucu kurang berinteraksi dengan orang tuanya yang dihari libur adalah kesempatan untuk memupuk hubungan lebih intens. Bahkan karena "monopoli" sang kakek/nenek, si cucu menjadi jarang berinteraksi dengan anak seusianya.

Karena anak-anaknya semua tinggal di lain tempat/kota, orang tua saya sepertinya kesepian, mereka menginginkan ada salah satu cucunya yang tinggal bersamanya. Namun keinginan itu tidak mudah dituruti, karena cucu-cucunya masih dalam masa-masa yang memerlukan interaksi dan ketergantungan dengan orang tuanya, mungkin setelah akil balig barulah bisa terpenuhinya keinginan itu. Syukur mereka mau mengerti. Keinginan yang manusiawi bila seorang ayah/ibu bisa mengikuti proses perkembangan fisik dan psikis anaknya sendiri dari waktu ke waktu. Berbahagia bagi yang bisa mengakomodir kedua keinginan itu, yang biasanya bertempat tinggal terpisah tetapi relatif dekat untuk mencapainya, sewaktu-waktu kakek/nenek rindu dengan sang cucu bisa mudah mengunjunginya.

Banyak orang orang tua yang hidup terpisah menjadi kesepian dan selalu berharap agar anak cucunya selalu mengunjunginya. Bilamana harapan itu tidak terpenuhi, mereka menjadi sakit hati dan mengungkit-ungkit masa lalu, bahkan tidak jarang menyumpahi anaknya yang dirasa tidak tahu balas budi. Hal ini terjadi biasanya baik orang tua dan anaknya sama sama tidak memahami etika : berbuat baik, melupakan jasa baik dan tahu balas budi.

Bagi orang tua yang sadar telah 'membesarkan' anaknya, selama mereka bisa melupakan jasa baiknya, maka tidak akan timbul harapan-harapan itu, yang berarti tidak ada kesedihan atau masalah, meskipun anak/cucunya benar-benar melupakan. Sebagai orang tua mereka menyadari bahwa kemarahannya juga menjadi kemarahan Tuhan dan keridhoannya menjadi keridhoanNya. Orang tua dengan tingkat pemahaman seperti ini, bisa merasakan "cinta" dan kasih sayang tersebar dimana-mana, tidak hanya kepada anak/cucunya saja. Rasanya kurang hati-hati mudahnya orang tua mengutuk anak yang dianggap durhaka, meski itu manusiawi, seolah menutup kemungkinan perubahan pada anaknya. Bukankah atas kehendakNya waktu dan kondisi bisa merubah sifat manusia.

Bagi anak yang memahami etika di atas, dia akan selalu mengingat budi baik orang tua yang telah diterimanya. Sebagai anak yang berbakti dia akan merawat orang tuanya dengan penuh kesabaran bila sekarang sedang bersamanya dan bila berjauhan akan mengunjungi secara rutin orang tuanya tanpa diminta, meski orang tua tidak mengetahui etika di atas, hal yang menjadi kesedihanya sudah pasti tidak akan pernah terjadi. Salah satu pihak bisa memahami etika itu sudah cukup untuk memberikan keharmonisan, apalagi kedua-duanya mengetahui, tentu semakin tinggi tingkat pengertian antara orang tua dan anak.

Beberapa teman kantor bahkan mempunyai pilihan terakhir yaitu panti wreda (jompo). Mereka membayangkan hidup di panti wreda mungkin lebih "menyenangkan" dan "menyehatkan". Mereka tidak ingin merepotkan anakcucunya, serta JUSTRU ingin menjaga hubungan orang tua dan anak tetap lestari, karena kawatir "ketidak-sabaran" anaknya dalam merawatnya akan menurunkan kualitas hubungan dan hanya akan menambah dosa. Panti wreda memang belum menjadi wacana yang bisa diterima masyarakat umum di Indonesia. Banyak yang menganggap membawa ke panti wreda sama saja "membuang" orang tua, dan kenyataan sekarang ini kebanyakan panti wreda memang untuk mengakomodir "orang-orang terbuang". Di masa mendatang, yang kebanyakan orang Indonesia "sibuk" dengan diri sendiri, boleh jadi panti wreda adalah "tempat elite dan eksklusif" yang ditawarkan developer dan yayasan. Selain adanya paramedis (dokter, perawat dll) yang secara rutin mengontrol kesehatannya, juga ada fasilitas ibadah, fitness centre, olah raga, kolam renang, taman yang asri dengan pohon rindang, perpustakaan dan?tidak tidur di bangsal, tetapi mempunyai rumah/ruang sendiri lengkap dengan fasilitas layaknya "kantor" dan "rumah tinggal". Bisa-bisa para penghuninya akan "melupakan" anak-anaknya, bagaimana tidak karena disana berkumpul teman-temannya yang dulu satu kantor/pekerjaan.

Kita pun akan menjadi tua, kita tidak perlu mengulang pengalaman orang orang tua yang kesepian dan penuh kesedihan, kalau kita bisa mencari bentuk-bentuk penghiburan yang positif dan menyehatkan selain mengharap kedatangan anak/cucu. Ibarat melepaskan anak panah, kita hanya berusaha mengarahkan ke sasaran, anak kita yang melesat ke masa depan mungkin saja tidak bisa kita jumpai. Kita hanya berharap agar tepat sasaran, oleh karenanya tidak ada jalan lain selain terus melatih "ketrampilan memanah" sampai benar-benar lihai.
(Wis-10 Juli 2004)

Rahasia Sukses Bos-bos Jepang!


Cara hidup pemimpin Jepang sangat sederhana dibanding dengan rekan-rekan di Barat. Rasanya mereka memandang rendah kemewahan. Suatu barang harus ada fungsinya.

Pernah orang Jepang dijuluki les marchands des transistors (pedagang transistor) oleh de Gaulle. Namun sekarang mereka bukan hanya juara dunia dalam hi-fi, tetapi juga dalam microprocessor, mobil, bioindustri dan lain-lain.

Dalam sepuluh tahun terakhir produksi Jepang meningkat dua kali lebih cepat daripada Amerika Serikat. Apa rahasianya?

Berikut ini kita akan menjenguk orang-orang yang mempunyai andil besar dalam kemajuan tehnik Jepang.

Mula-mula kita jumpai Akio Morita si pencipta perusahaan Sony. Dia menyukai olahraga golf, sekaligus menjadi pengagum musikus Beethoven. Saking gandrungnya pada musik sampai-sampai di lapangan pun dia ingin bermain golf sambil mendengarkan Symphony kesembilan.

"Saya membutuhkan sebuah alat kecil dengan pengeras suara," kata Akio Morita pada anak didiknya. Tak lama kemudian tcrciptalah walkman.

Dia berusia sekitar enampuluhan, kurus, rambutnya putih dan matanya hampir kuning. Tapi ia nampak seperti umur duapuluh karena semangatnya yang tak kenal lelah.

Rumahnya di daerah kedutaan, di Tokyo. Bertingkat, dengan kebun dan sebuah kolam renang. Boleh dikata dia seorang boss Jepang yang sudah berorientasi ke Barat. Dia tak berkeberatan istrinya turut menjamu tamu dalam pakaian Barat. Tetapi, ia tetap menjalani hidup sederhana dan kekeluargaan menurut tradisi.

Setiap pagi pukul delapan tepat Akio Morita tiba di kantor. Ia selalu mengenakan seragam yang sama dengan yang dipakai anak buahnya, meskipun jas luarnya buatan Inggris. Ini untuk menunjukkan semangat demokratis yang menjiwai setiap perusahaan Jepang.

Pada tahun 1947 Akio Morita mendirikan perusahaan Sony; memasarkan transistor yang pertama, televisi berwarna pertama, dan walkman pertama. Saat ini perusahaan sedang maju-majunya, ia mengekspor 70% dari produknya. "Pasaran kami adalah seluruh dunia," katanya.

Kemajuan teknologi Jepang didorong oleh semangat untuk menyegerakan, dengan penuh kesadaran dan rasa kebanggaan. Tidak sampai dua generasi untuk mewujudkan mukjizat ini. Sebelumnya, orang Barat mengejek, Jepang hanya bisa membuat sepeda yang rodanya tidak bisa berputar dan jam-jam yang tidak bisa dipercaya. Karikatur tahun tigapuluhan pernah menunjukkan gambar seorang pemburu menyandang sepucuk senapan, yang ketika picunya ditarik maka larasnya menggembung. Capnya: made in Japan (bikinan Jepang).

Tetapi tiba-tiba orang Jepang tergila-gila pada perlombaan matematika dan fisika. Ujian-ujian di berbagai universitas menjadi sangat berat dan terjadi persaingan mati-matian. Ini menghasilkan orang-orang yang pandai. Di Pusat Penelitian Sony, jejak kaki para direktur yang sukses dicetakkan di atas tanah, seperti halnya jejak kaki para bintang Hollywood di studio MGM.

Saingan istrinya sebuah komputer

Sama dengan majikannya, Makoto Kikuchi direktur baru pada Pusat Penelitian Sony ini bisa berbahasa Inggris, dengan tujuan dapat berbicara dengan robotnya; sebuah "Apple" Amerika. "Masih yang terbaik untuk saat ini," ucapnya jujur. Laki-laki berusia 45 tahun ini sebelumnya sudah sangat terkenal di Jepang sebagai ilmuwan yang paling mengagumkan dari Pusat Penelitian Negara. Ia mengkhususkan diri dalam microprocessor. Ia pindah ke Sony enam tahun yang lalu.

Dalam sebuah rumah yang amat kecil berbentuk bujur sangkar dan terbuat dari kertas minyak itulah ia tinggal bersama istrinya dan hidup dengan sederhana. Dengan kimononya dan berlutut di atas tikar Jepang, istrinya dengan setia menemani suaminya bermain dengan komputer.

Mottonya: Research Makes The Difference, menggambarkan keambisiusan Makoto Kikuchi. Motto ini ditulis pada truk-truk perusahaan dalam bahasa Inggris supaya menimbulkan kesan eksotis.

Ia punya rencana untuk beberapa tahun mendatang: membuat komputer yang bisa menguraikan bahasa percakapan orang Jepang supaya setiap orang Jepang dapat berbicara dengan komputer.

Dengan senang hati, dia mengundang 190 penyelidik datang ke pusat penelitiannya. Kata Makoto: "Sony memberikan 3,5 sampai 5% penghasilannya untuk penelitian." Tambahnya: "Sebelum ini saya bekerja di sebuah laboratorium di Amerika Serikat. Di Sony, cukup hanya satu jam bagi saya untuk memperoleh sebuah alat yang harganya setengah juta dolar. Saya lalu bisa menghargai perbedaan ini." Ia tetap seorang Jepang Tulen meskipun lama tinggal di Amerika Serikat.


Para peneliti Sony mempelajari sinar energi matahari, teknologi silikon dan lainnya. Tetapi bidang yang paling disukainya adalah semiconductor. Dia memulai segalanya dari nol pada tahun 1976.

Di perusahaan Sony, kaitan penelitian produksi dengan pemasaran merupakan satu keharusan yang permanen. Contohnya, setiap Minggu pagi Makoto sarapan bersama Akio Morita dan Direktur Marketingnya. Hubungan yang begitu wajar dan akrab antara peneliti dan pemimpin ini jarang sekali terjadi di Amerika maupun di Eropa.

Morita yang sudah begitu kebarat-baratan, yang kalau bermain golf memakai kemeja dan topi Amerika, tetap membungkukkan badan sampai ke tanah bila berjumpa dengan kawan. Dalam mobil ia memiliki telepon, televisi dan magnetoskop; tetapi ia tetap mengenakan seragam yang sama seperti 35.000 anggota Sony.



Honda tidak memberi warisan kepada anak

Soichiro, 78 tahun, adalah pendiri Honda Motor. Ia juga mengenakan seragam karyawan biasa di perusahaan, kemeja dan topi putih. Dia lebih suka bekerja di bengkel, meskipun tersedia ruangan di setiap perusahaannya. Sebelum pecah perang, ia pernah menjadi montir biasa.


Sedikit demi sedikit ia turut meletakkan dasar perusahaan. Sekarang ia mengepalai 23.000 buruh dan membawahi 43 perusahaan di 28 negara (enam ada di Jepang).

Anak buahnya diberi kepercayaan total dan tanggung jawab pribadi atas apa yang dihasilkannya.

Soichiro tidak memiliki harta pribadi. Dia tinggal dalam sebuah rumah sederhana. Kegemarannya melukis di atas kain sutra dan bermain golf. Barangnya yang berharga cuma sebuah helikopter dan mobil biasa. Penghasilannya dipakai untuk penelitian dan bea siswa kaum muda. Dia bahkan tak memberi warisan kepada anak-anaknya.

"Warisan paling berharga yang dapat saya berikan adalah membiarkan mereka sanggup berusaha sendiri," katanya.

Hadiah untuk gagasan yang paling baik

Kyoto Ceramics adalah salah satu pabrik pembuat microchips (elemen-elemen kecil komputer) yang paling kuat di dunia.

Omset Kyoto Ceramics 400 juta dolar dan menghasilkan keuntungan luar biasa, 12% setelah dipotong pajak.

Ada tujuh buah perusahaan di Amerika Serikat dan tiga di Jepang. Inamori sang pemimpin, seperti juga Soichiro Honda dan Kaku pemimpin Canon, menganggap dirinya sebagai karyawan biasa. Selisih gaji direktur dan buruh baru di Jepang lebih kecil bila dibandingkan dengan di Eropa dan Amerika Serikat.

Cara hidup pemimpin Jepang sangat sederhana dibanding dengan rekan-rekan di Barat. Rasanya mereka memandang rendah kemewahan. Suatu barang harus ada fungsinya.

Bagaimana mereka bisa memegang prinsip sebaik itu?

Mari kita menengok ke Gamo, salah satu pabrik keramik di Kyoto. Kurang lebih 50 kilometer dari Kyoto. Di sini pada pukul delapan pagi seluruh karyawan Gamo berkumpul dalam ruang-ruang besar. Dari tiap ruang, di atas sebuah panggung seorang laki-laki meneriakkan: berdiri, bersiap, luruskan kaki dan istirahat. Ratusan laki-laki dan perempuan dalam seragam biru berdiri siap. Laki-laki lalu melaporkan hasil pekerjaan bulan lalu dan menambahkan delapan pesan produksi, tentang mutu, penurunan ongkos dan sebagainya.

Selesai laporan, dia memanggil lima orang maju ke depan. Mereka diberi hadiah, karena telah menyumbangkan gagasan yang paling baik, pada bulan sebelumnya. Di semua perusahaan Jepang, para insinyur dan buruh diundang menyumbangkan gagasan untuk lebih memajukan produktivitas, keamanan dan semua bidang yang berkaitan dengan kehidupan perusahaan.

Di Canon, setahun yang lalu, masuk sekitar 146.242 gagasan yang ternyata dapat menghemat lebih dari tujuh juta yen!

Sebulan sekali mereka berkumpul, memberi laporan pekerjaan selama ini, bertukar pengalaman dan mutu pekerjaan mereka.

Hadiah bagi gagasan mereka yang terpilih antara lain medali, jam tangan, tiket kereta atau pesawat terbang. Yang kurang berinisiatif tak akan mendapat apa-apa. Tak pernah terjadi seseorang mendapat sanksi negatif.

Setiap pekerja memiliki saham dan dividen dari perusahaan. Benar-benar merupakan perwujudan demokrasi yang didasarkan pada penghargaan hasil kerja dan atas hierarkinya. Di Jepang, persaingan ditumbuhkan sejak kanak-kanak. Keluaran sekolah bereputasi tinggi lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang baik.

Di tiap perusahaan ada serikat buruh, yang setiap tahunnya mengorganisir pemogokan untuk memperoleh kenaikan gaji yang disebut Shunto. Tetapi Shunto ini cuma suatu upacara tradisi, bukan pemogokan seperti layaknya di Barat.

Robot membuat robot

Di kaki Gunung Fuji ada robot membuat robot. Robot-robot itu bekerja dengan diam-diam. Beberapa manusia membaca lembaran kertas besar yang keluar dari terminal robot. Di Honda Motor Cie, di sebuah dusun dekat Tokyo, kita bisa melihat mobil yang di-assembling oleh robot, yang mematri 160 kali setiap detiknya. Grup-grup yang terdiri dari lima atau enam buruh memeriksa hasil kerja robot. Setiap buruh diizinkan menghentikan pekerjaan dengan cara menekan tombol merah, bila ada yang kurang beres.

Hasilnya: pada produksi akhir hanya ada 0,1% yang apkir, dibanding dengan 20% di Eropa. Di Sony, semua karyawannya teliti. Para majikan di Eropa memimpikan pabrik mereka bisa menyamai Jepang, dan mendambakan buruh-buruh yang serupa pula.

Di perusahaan Canon, Tuan Kaku yang adalah presiden direkturnya itu dan para buruhnya, saling menundukkan kepala mereka sama dalamnya. Percakapan antara mereka bisa membuat heran telinga-telinga Perancis.

Tuan Kaku menjelaskan secara mendetil target keuangan dan tehnik yang ingin dicapai perusahaan. Kepala serikat buruh Canon meyakinkan majikannya, keberhasilan Canon merupakan satu kepuasan bagi seluruh karyawan dan mereka ingin bekerja sama sepenuhnya bersama direksi.

Majikan-majikan Eropa sangat kagum melihat modernisasi Jepang. Kagum bukan hanya karena melihat sindikat-sindikat buruh dapat bekerja sama begitu baik dangan majikannya, tetapi juga melihat para majikan yang tak pernah memecat buruhnya itu.

Mereka melihat suatu industri di mana otomatisasi tidak menciptakan pengangguran, dan setiap buruh mau dan dapat memahami apa pun yang mereka lakukan. Mereka juga mendapat penjelasan mengenai jalannya perusahaan. Yang nampak di depan mereka adalah sebuah dunia, di mana disiplin yang mirip disiplin militer itu dapat berjalan berdampingan dengan rasa hormat pada setiap individu. Inilah rahasia kemajuan Jepang. (Paris Match/Intisari)

Sumber: KCM - Kamis, 23 September 2004

Syukur Seorang Nenek



Seorang janda tua pernah mengundang saya untuk selamatan di rumahnya. Perempuan yang sudah nenek-nenek itu saya tahu mata pencahariannya hanya berdagang kue keliling kampung yang hasilnya tidak seberapa. Ia hidup sendirian di Jakarta, tanpa sanak keluarga. Dan ia tinggal di emperan rumah oang lain atas kebaikan hati si tuan rumah. Hari itu, selepas salat Jum'at ia ingin mengadakan syukuran.

Saya pun segera datang tepat pada waktunya. Tidak berapa lama kemudian datang pula ketua RT, imam masjid, dan seorang merbotnya. Disusul dengan kehadiran si tuan rumah yang selama bertahun-tahun memberikan emperan rumahnya untuk ditempati.

Sudah setengah jam saya tunggu yang lainnya tidak ada yang datang lagi. Jadi saya tanya, "Masih ada yang ditunggu Nek?" Nenek itu menggeleng, "Tidak ada, Ustaz. Yang saya undang hanya lima orang, termasuk Ustaz. Maklum, tempatnya sempit."

Saya tersentuh. Orang kecil ini masih juga ingin mengadakan syukuran kepada Allah dalam ketidakberdayaannya, sementara banyak orang lain yang rumahnya besar-besar tidak pernah diinjak tetangganya untuk selamatan.

"Apa tujuan syukuran ini, Nek?" saya bertanya pula. "Begini, Ustaz," jawab si nenek. "Saya bersyukur kepada Allah karena sejak bulan depan saya bisa mengontrak kamar ini, sebulan tiga ribu rupiah. Tadinya tuan rumah menolak, tidak mau menerima uang saya. Tapi akhirnya ia tidak keberatan, sehingga utang budi saya tidak
terlalu berat."

Masya Allah. Alangkah mulianya hati nenek itu. Ia yang sebetulnya masih perlu disedekahi, tidak mau membebani orang lain tanpa imbalan. Dan alangkah mulianya pula si tuan rumah yang tidak mau mengecewakan hati seoang nenek yang ingin terbebas dari perasaan bergantung pada orang lain.

Kunci Sukses Berprestasi


Bekerjalah lebih baik dari rekan-rekan Anda. Caranya, tingkatkan efisiensi dan produktivitas kerja Anda, serta tentukan skala prioritas dalam bekerja.

Dalam sebuah kantor atau perusahaan, ada saja karyawan yang belum memperoleh promosi jabatan meskipun sudah bekerja dengan tekun, patuh, dan jujur. Semuanya telah dikerjakan sesuai dengan standar kerja yang ditentukan.

Apa yang masih kurang? Sebenarnya, karyawan macam ini lupa bahwa rekan-rekannya juga melakukan hal-hal serupa. Kalau Anda termasuk di antara mereka, cobalah kiat untuk berprestasi lebih baik berikut ini:

1. Bekerjalah lebih baik dari rekan-rekan Anda. Caranya, tingkatkan efisiensi dan produktivitas kerja Anda, serta tentukan skala prioritas dalam bekerja.

2. Perbesar daya kerja Anda dengan menghadapi pekerjaan dengan sikap mental positif dan perhatian penuh.
3. Bekerjalah lebih kreatif.
4. Lakukan penyesuaian diri dengan perubahan yang terjadi. Jangan terkejut bila sewaktu-waktu terjadi perubahan.
5. Tingkatkan wawasan serta keterampilan dalam bekerja dan berpikir.

6. Jangan mudah puas dengan hasil kerja yang telah dicapai.
7. Lakukan evaluasi terhadap hasil kerja Anda dan berikan tantangan untuk menghadapi tugas lebih berat.

Kepuasan kerja akan diperoleh bila Anda mampu menyelesaikan tugas dengan mudah, benar, cepat, dan tepat. Kondisi ini meningkatkan semangat kerja, sehingga memperbesar daya kerja. Akhirnya, Anda akan lebih menguasai, efisien, produktif, dan terampil dalam bekerja.

Sumber: KCM - Minggu, 12 September 2004

TIPS MENUJU SUKSES "SELALU BERPIKIR@N POSITIF"

Percaya atau tidak, sikap kita adalah cermin masa lampau kita, pembicara kita di masa sekarang dan merupakan peramal bagi masa depan kita. Maksudnya apa ? Ya, bahwa kondisi masa lalu, sekarang dan masa depan kita dapat tercermin dari bagaimana sikap kita sehari-hari. Camkan satu hal, sikap kita merupakan sahabat yang paling setia, namun juga bisa menjadi musuh yang paling berbahaya.

Bagaimana sikap mental kita adalah sebuah pilihan; positif ataukah negatif.

W.W. Ziege pernah berkata."Tak akan ada yang dapat menghentikan orang yang bermental positif untuk mencapai tujuannya. Sebaliknya, tak ada sesuatupun di dunia ini yang dapat membantu seorang yang sudah bermental negatif.

Jika kita seorang yang berpikiran positif, kita pasti mampu menghasilkan sesuatu. Kita akan lebih banyak berkreasi daripada bereaksi. Jelasnya, kita lebih berkonsentrasi untuk berjuang mencapai tujuan-tujuan yang positif daripada terus saja memikirkan hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kehidupan dan kebahagiaan seseorang tidaklah bisa diukur dengan ukuran gelar kesarjanaan, kedudukan maupun latar belakang keluarga. Yang dilihat adalah bagaimana cara berpikir orang itu. Memang kesuksesan kita lebih banyak dipengaruhi oleh cara kita berpikir.

Ingat perkataan Robert J. Hasting, "Tempat dan keadaan tidak menjamin kebahagiaan. Kita sendirilah yang harus memutuskan apakah kita ingin bahagia atau tidak. Dan begitu kita mengambil keputusan, maka kebahagiaan itu akan datang".

Dengan bersikap positif bukan berarti telah menjamin tercapainya suatu keberhasilan. Namun, bila sikap kita positif, setidak-tidaknya kita sudah berada di jalan menuju keberhasilan. Berhasil atau tidaknya kita nantinya ditentukan oleh apa yang kita lakukan di sepanjang jalan yang kita lalui tersebut.

Dari beberapa buku yang saya baca beberapa tips berikut terbukti cukup membantu. Cobalah untuk menjalankan kegiatan-kegiatan berikut ini sebanyak mungkin dalam hidup kita. Sebagaimana untuk mencapai hal-hal lainnya, untuk menjadi seorang yang berpikiran positif, prosesnya harus dilakukan secara terus-menerus :

1. Pilihlah sebuah kutipan yang bernada positif setiap minggunya dan tulislah kutipan tadi pada selembar kartu berukuran 3 x 5. bawalah kartu tadi setiap hari selama seminggu. Baca dan camkanlah kutipan tadi secara berkala dalam sehari dan jadikan afirmasi, misalnya di meja kerja Anda, di dashboard mobil, atau di cermin kamar mandi. Jadikanlah setiap kutipan tersebut bagian pemikiran Anda selama seminggu itu.

Contoh :
"Seorang pemimpin yang baik adalah yang bisa membesarkan semangat dan harapan-harapan kepada anak buahnya." (Napoleon Bonaparte).
"Hari ini saya ingin menolong orang sebanyak mungkin" (Harry Bullis)

2. Pilihlah seseorang yang dalam hidup Anda yang Anda anggap berpikiran negatif. Cobalah cari hal-hal yang positif dalam diri orang itu dan ubahlah pikiran-pikiran negatif Anda mengenai orang tersebut dengan hal-hal positif tadi. Sebagai orang beragama, tolong doakan pula orang tersebut dengan hal-hal positif tadi dan mohonlah agar Tuhan menolongnya.

3. Pilih satu hari istimewa dalam seminggu dan jadikanlah hari itu sebagai "hari 10". Bangunlah pada pagi hari dan yakinlah bahwa setiap orang yang akan Anda temui bernilai "10", dan perlakukanlah mereka secara demikian. Anda pasti akan heran sendiri melihat tanggapan yang akan Anda peroleh dari orang-orang yang selama ini Anda anggap remeh.

4. Tandai suatu hari dalam seminggu sebagai "hari berpikiran positif." Hapuslah kata-kata "tidak dapat," "tidak pernah," atau kata-kata lain yang senada, usahakan agar Anda menemukan cara untuk mengatakan apa yang bisa Anda lakukan.

5. Paling tidak sekali dalam seminggu, carilah suatu kesempatan untuk bisa memberi kepada orang lain dengan tulus. Lakukanlah suatu yang khusus pada suami/istri ataupun anak-anak Anda. Berbuatlah suatu kebaikan pada seseorang yang belum Anda kenal.

Siapa yang ingin sukses ?

Kuncinya jangan pernah sekali-kali berpikiran negatif ! Buang jauh-jauh hal-hal negatif; juga kalimat-kalimat negatif dari pikiran Anda !

Jangan pernah ada lagi kalimat-kalimat seperti :

"Pasti gagal;
Kami belum pernah melakukannya;
Kami tak sanggup melakukannya;
Saya belum siap melakukannya;
Itu bukan tanggung jawab kami; dan sebagainya".

Selamat mencoba, dan
.................................................
SEMOGA sukses senantiasa bersama kita yang selalu berusaha maksimal
menggapainya.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Meredam Rasa Tersinggung


Salah satu hal yang sering membuat energi kita terkuras adalah timbulnya rasa ketersinggungan diri. Munculnya perasaan ini sering disebabkan oleh ketidaktahanan kita terhadap sikap orang lain. Ketika tersinggung, minimal kita akan sibuk membela diri dan selanjutnya akan memikirkan kejelekan orang lain. Hal yang paling membahayakan dari ketersinggungan adalah habisnya waktu kita untuk memikirkan "balas dendam"

Efek yang biasa ditimbulkan oleh rasa tersinggung adalah kemarahan. Jika kita marah, kata-kata jadi tidak terkendali, stress meningkat, dan lainnya. Karena itu, kegigihan kita untuk tidak ersinggung menjadi suatu keharusan. Apa yang menyebabkan orang tersinggung?

Ketersinggungan seseorang timbul karena menilai dirinya lebih dari kenyataan, merasa pintar, berjasa, baik, tampan, dan merasa sukses. Setiap kali kita menilai diri lebih dari kenyataan bila ada yang menilai kita kurang sedikit saja akan langsung tersinggung. Peluang tersinggung akan terbuka jika kita salah dalam menilai diri sendiri. Karena itu, ada sesuatu yang harus kita perbaiki, yaitu proporsional menilai diri.

Teknik pertama agar kita tidak mudah tersinggung adalah tidak menilai lebih kepada diri kita. Misalnya, jangan banyak mengingat-ingat bahwa saya telah berjasa, saya seorang guru, saya seorang pemimpin, saya ini orang yang sudah berbuat.

Semakin banyak kita mengaku-ngaku tentang diri kita, akan membuat kita makin tersinggung. Ada beberapa cara yang cukup efektif untuk meredam ketersinggungan :

Pertama, belajar melupakan. Jika kita seorang sarjana maka lupakanlah kesarjanaan kita. Jika kita seorang direktur lupakanlah jabatan itu. Jika kita pemuka agama lupakan kepemuka agamaan kita. Jika kita seorang pimpinan lupakanlah hal itu, dan seterusnya. Anggap semuanya ini berkat dari Allah agar kita tidak tamak terhadap penghargaan. Kita harus melatih diri untuk merasa sekadar hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa kecuali berkat ilmu yang dipercikkan oleh Allah sedikit. Kita lebih banyak tidak tahu. Kita tidak mempunyai harta sedikit pun kecuali sepercik titipan berkat dari Allah. Kita tidak mempunyai jabatan ataupun kedudukan sedikit pun kecuali sepercik yang Allah telah berikan dan dipertanggung jawabkan. Dengan sikap seperti ini hidup kita akan lebih ringan. Semakin kita ingin dihargai, dipuji, dan dihormati, akan kian sering kita sakit hati.

Kedua, kita harus melihat bahwa apa pun yang dilakukan orang kepada kita akan bermanfaat jika kita dapat menyikapinya dengan tepat. Kita tidak akan pernah rugi dengan perilaku orang kepada kita, jika bisa menyikapinya dengan tepat. Kita akan merugi apabila salah menyikapi Kejadian dan sebenarnya kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai dengan keinginan kita. Yang bisa kita lakukan adalah memaksa diri sendiri menyikapi orang lain dengan sikap terbaik kita. Apa pun perkataan orang lain kepada kita, anggap saja ini episode atau ujian yang harus kita alami untuk menguji keimanan kita.

Ketiga, kita harus berempati. Yaitu, mulai melihat sesuatu tidak dari sisi kita. Perhatikan kisah seseorang yang tengah menuntun gajah dari depan dan seorang lagi mengikutinya di belakang Gajah tersebut. Yang di depan berkata, "Oh indah nian pemandangan sepanjang hari". Kontan ia didorong dan dilempar dari belakang karena dianggap menyindir. Sebab, sepanjang perjalanan, orang yang di belakang hanya melihat pantat gajah. Karena itu, kita harus belajar berempati. Jika tidak ingin mudah tersinggung cari seribu satu alasan untuk Bisa memaklumi orang lain. Namun yang harus diingat, berbagai alasan yang kita buat semata-mata untuk memaklumi, bukan untuk membenarkan kesalahan, sehingga kita dapat mengendalikan diri.

Keempat, jadikan penghinaan orang lain kepada kita sebagai lading peningkatan kwalitas diri dan kesempatan untuk mempraktekkan buah2 "kebaikan" Yaitu, dengan memaafkan orang yang menyakiti dan membalasnya dengan kebaikan

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Berhenti Menjadi Pengemis


Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri. Satu lewat, ku beri, kemudian lewat satu pengemis lagi, kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis baru lah aku berhenti dan menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian.

Tidak setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan lima ratus rupiah, tergantung persediaan.

Sahabat saya, Diding, punya cara lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya lebih besar dari gajiku. Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari gajinya. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh kehujanan di Pasar Minggu, anggapan saya itu ternyata salah.

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada di pikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus ribu?" tanya Diding

Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu. "Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus ribu itu hanya pinjaman?"

"Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi," katanya.

Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja danlain-lain.

Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.

***

Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya -dengan tetap membayar- ia juga berkesempatan untuk memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.

Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Diding kembali mengunjungi penjual gado-gado. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yangdibantunya sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.

Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Bangkit Setelah Masa-masa Terpahit


PENULIS, humanis, dan pendidik, Leo F Buscaglia (1924-1998), menulis: "To hope is to risk pain. To try is to risk failure. But risk must be taken, because the greatest hazard in life is to risk nothing¦."

Harapan dan kehidupan. Dua hal yang sangat mudah diucapkan, tetapi menjadi tantangan besar pada Irwanto (49) dan Sartono Mukadis (59).

Pertanyaan "why me", misalnya, lebih mendominasi alam pikiran yang melayang liar menyangkali realitas bahwa tubuh yang terkapar itu adalah miliknya. Padahal, Sartono tahu persis bahwa pertanyaan seperti itu hanya akan mendamparkannya ke dalam sumur tanpa dasar karena jawabannya bisa, "why not you?".

Harapan dengan mudah menguap ditelan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, sekaligus ketidakberdayaan ketika seseorang harus menerima kenyataan bahwa kondisi tubuh mereka tidak mungkin kembali seperti semula. Embel-embel profesional, segala teori yang dikuasai, dan kekuatan hati seperti apa pun sempat menjadi tak banyak berarti ketika orang berada pada posisi mengalami. "Kita ini manusia biasa, yang kebetulan menjadi psikolog," ujar Irwanto.

Bukan sesuatu yang kebetulan kalau Sartono dan Irwanto adalah psikolog terkemuka di bidangnya masing-masing. Mereka berteman. Sartono Mukadis adalah pengamat sosial yang tulisan dan komentarnya sering muncul di media massa. Ia menaruh perhatian pada sumber daya manusia. Irwanto menaruh perhatian pada masalah pengembangan anak dan kajian keluarga. Bidang studi itu memberinya gelar doktor dari Purdue University, Indiana, AS, tahun 1992, dan kemudian bekerja di Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya (LPA), Jakarta.

Sejak empat tahun lalu Sartono harus bergantung pada kursi roda setelah kaki kirinya diamputasi karena gangrene sudah merambat naik. Gangguan itu bermula dari luka yang tak kunjung sembuh akibat diabetes. Kelingking kaki kanannya diamputasi jauh sebelum ia berangkat pergi untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1997. Namun, pola makan yang tidak pernah berubah membuat luka serupa muncul di telapak kaki kirinya.

Irwanto adalah korban "skandal medis tanpa nama" (kalau tidak boleh disebut sebagai "malapraktik"). Ia masuk RS Internasional Bintaro pada tanggal 27 Juli 2003 sekitar pukul 23.30 karena merasa tekanan yang sangat kuat di dadanya sehingga ia sulit bernapas.

Perawatan dan obat yang diberikan dokter menghasilkan kelumpuhan dari dada ke sekujur tubuh bagian bawah sekitar pukul 17.00 sehari kemudian. Jiwanya sempat hampir melayang. Diagnosis yang terus berubah dan data rekam medis yang tidak transparan membuat situasinya terus memburuk.

Setelah dirawat selama 60 hari di sebuah rumah sakit di Singapura, Irwanto bertahan hidup. Si pemberi inspirasi melalui pengetahuan dan penelitian-penelitiannya itu kembali memimpin LPA sejak awal Januari 2004. Semangatnya segera tertangkap meski semua pekerjaan dilakukan dengan posisi setengah berbaring. Irene, sang istri, dan seorang perawat selalu mendampingi.

"Dibandingkan Pak Irwanto, penderitaan saya bukan apa- apanya," ujar Sartono dengan nada penuh sesal.

PENDERITAAN sebenarnya tak bisa diperbandingkan karena menyangkut pergumulan seseorang dengan dirinya sendiri. Kecuali satu hal: orang yang mengalaminya melalui proses yang hampir sama untuk sampai pada tahap menerima kenyataan sebagaimana adanya dan kemudian bangkit melanjutkan perjalanan.

"Ketika tiba pada tahap awal menerima dengan ikhlas semua ini, semua jalan seperti dibukakan," tutur Sitti Herawati, istri Sartono, yang akrab disapa Erry.

Bagi Irwanto dan Sartono, bertahan hidup saja tidak cukup kalau tidak bisa memberikan sumbangan bagi kebaikan manusia. Perjalanan kembali menuju ke arah itulah yang harus melewati proses sangat terjal.

Optimisme Sartono pasca- operasi Agustus 2002 memudar ketika mendapati kenyataan ia tak bisa membalikkan tubuhnya sendiri. Penyakit itu membuat jantungnya kena, parunya berair. Kondisi kesehatannya labil.

Sampai empat bulan setelah operasi, Sartono hanya merasa kesuraman yang pekat. Pada saat yang sama sebenarnya keluarganya juga mengalami tekanan luar biasa, pada Erry khususnya. Kesibukan anak- anaknya sehingga tidak selalu bisa menjenguk sang ayah,ketertatihan Erry menghadapi segala persoalan sendiri, tidak ditanggapi dengan bantuan psikologis. Sebaliknya, keluarga itu malah dihakimi dengan berbagai "skenario". Ini sempat membuat Erry down.

"Perasaan terhina dan tidak berarti lagi kuat sekali memenuhi diri saya, karena buang air pun harus dibantu," kata Sartono mengenang. Konflik dengan istri dan anak-anaknya sering tak terhindari. Ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan kondisi fisiknya yang baru acap kali membuatnya terjungkal ke titik nadir. Ia menjadi sangat sensitif, juga cengeng, dan demanding.

"Ia jarang bicara. Maunya tidur terus, susah dibawa cek ke rumah sakit," kata Erry. Saat itu, Sartono merasa hidupnya sudah selesai. Selama dua tahun, kondisi psikologisnya pasang dan surut secara tajam. Sementara di luar, orang menganggap keluarga itu pasti bisa mengatasi masalahnya karena baik Sartono maupun Erry sama-sama psikolog.

Suatu hari, ketika sudah berada di mobil sehabis kontrol ke rumah sakit, seseorang yang tidak dikenal tiba-tiba muncul dan mengatakan, "Pak, Anda jangan depresi ya. Nanti Anda tidak bisa menguatkan orang lain."

Peristiwa itu seperti membuka kesadarannya. Namun, untuk bangkit dan menerima keadaannya, tetap bukan hal yang mudah. Sampai pada suatu hari pada pertengahan bulan Juni tahun 2002, temannya, Aida Ismed Adullah, minta tolong agar Sartono membantunya membuka klinik psikologi di Pulau Batam. Tawaran pertama tak dijawab. "Bergerak saja setengah mati, mana mungkin saya terbang ke Batam?" katanya.

Namun ia sadar, ada masalah riil yang dihadapi. Keuangan keluarga kacau-balau sejak ia sakit. Toh bukan itu motivasi utamanya.
"Perasaan bahwa saya masih dibutuhkan bahwa hidup saya masih berarti, itu yang terutama," tuturnya.

Pertama menginjakkan kaki lagi ke Bandara Soekarno-Hatta berbagai perasaan berkecamuk. Akan tetapi, langkah itu juga menjadi semacam "turning point" yang membangkitkan semangatnya untuk kembali tegak menghadapi dunia nyata.

Sartono tak bisa mengelak bahwa hidupnya kini ditopang oleh 15 jenis obat setiap hari. Kenyataan itu membuatnya harus terus berjuang untuk menerima keadaannya dengan hati ikhlas. Dan itu bukan hal yang mudah¦.

"SANGAT tidak mudah¦," sergah Irwanto. Kondisi "stabil" yang dipahami secara umum tidak berlaku pada Irwanto dan Sartono. Pada mereka, keikhlasan harus direbut dari diri sendiri, di antara perasaan-perasaan lain yang saling berkompetisi dalam bayang-bayang penderitaan yang tak selalu bisa diungkapkan.

"Saya lega ketika akhirnya bisa memaafkan dokter yang menyebabkan saya lumpuh," ujar Irwanto pelan. Kemarahan yang ia pendam hanya mendatangkan rasa sakit. Penyesalan yang ia tumpuk hanya mendatangkan rasa pahit.

Namun, memaafkan bukan berarti melupakan apa yang dilakukan dokter itu terhadap dirinya. Irwanto tidak pernah melupakan peristiwa yang memutar balikkan dunianya dalam sekejap. Begitu pun Irene, sang istri.

"Bagian dada ke bawah benar-benar mati. Saya shock betul. Sebagian tangan langsung tak bisa digerakkan, tapi otak saya bekerja baik," kenangnya. Irwanto sempat berada dalam situasi antara hidup dan mati di RS Bintaro. Lalu keluarga minta agar Irwanto dipindahkan ke RS lain. Diagnosis dokter di situ lain lagi. Kali ini, katanya, ia terserang cytomegalovirus (CMV).

Di RS itu depresi menyerangnya. Ia tidak mau melihat cahaya, tidak mau mendengar suara. Ia bahkan menolak mendengarkan kaset pentas anak sulungnya. "Tidak ada yang terpikir selain, 'Tuhan, pekerjaan saya masih banyak. Apa salah saya? Kenapa saya tidak diambil saja?' Tapi di lain pihak, saya ingin melihat anak-anak saya jadi orang. Saya ingin hidup."

Dalam situasi yang amat menekan itu bukan penghiburan yang didapat, juga bukan dukungan psikologis. Empati dari dokter sangat tipis. Vonis bahwa Irwanto tidak mungkin bertahan disampaikan dokter kepada Irene di lorong rumah sakit. Pandangan bahwa pasien tak lebih dari komoditas terasa ketika ibu dua anak itu ditegur untuk segera membayar kekurangan biaya perawatan. Kalau tidak, hari itu juga Irwanto akan dipindah ke kelas tiga.

Situasi itulah yang membuat Irene nekat membawa Irwanto ke Singapura. Dengan bantuan dana yang dipinjam dari sanak keluarga dan teman-teman, Irwanto dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura. "Di sana saya merasa diperlakukan sebagai manusia. Para dokter memeriksa dan mewawancarai saya secara amat teliti," ujar Irwanto. Kemungkinan kekeliruan diagnosis terkuak di rumah sakit itu.

Di Singapura ia punya waktu untuk menemui dirinya sendiri, tetapi masih belum bisa menerima keadaan. Ia baru "terbangun" ketika pada hari keempat dokter datang dan dengan pelahan mengatakan, kecil kemungkinan bagi Irwanto untuk bisa berjalan lagi. "Dokter bilang, tidak ada yang berubah dari Irwanto. Ia bisa berkarya dari kursi roda. Otaknya tidak mengalami cedera apa pun," kenang Irene.

Pertolongan yang lain sering datang tak terduga. Itulah misteri hidup. Di bangsal itu ada Mr Ong yang selalu mengingatkan, "Jangan lawan penyakitmu. Terima apa adanya. Pikirkan apa yang bisa dilakukan ke depan. Jangan melihat ke belakang terus." Optimisme Irwanto terus ditumbuhkan sampai ia mau ikut latihan fisik. "Sangat pelan dan mulai dari awal karena menggerakkan jari tangan pun sakit sekali," katanya.

Menurut Irwanto, para dokter, fisioterapis, konselor, dan semua orang yang berhubungan dengan mereka di RS sangat membesarkan hati. Kemajuan sekecil apa pun selalu mendapat apresiasi. Termasuk ketika, setelah berusaha setengah jam, Irwanto mampu memakai baju sendiri.

Selama delapan minggu sebelumnya, organ pencernaan Irwanto lumpuh. Di Singapura ia mencoba minum susu. Awalnya berhasil, tetapi lalu ususnya berdarah. "Saya down lagi. Tapi Mr Ong bilang, mundur untuk maju. Jangan putus asa."

Kondisi beberapa pasien yang jauh lebih serius, membuat semangat Irwanto semakin besar. Menjelang pulang, Irwanto sudah bisa menggerakkan jari tangannya. Tetapi berat badannya hilang sampai belasan kilo. Masalah lain muncul: ia takut pulang. Takut anak-anaknya malu dengan kondisi ayahnya.

Irene kemudian berusaha menghubungi dua anak perempuannya dan pelan-pelan memberitahu kondisi ayah mereka. "Di luar dugaan, anak sulung kami mengatakan, 'It's OK Ma. This is the way we have to go. Just go¦'. Ketika mengucapkan kalimat itu, Irene meneteskan air mata, Irwanto juga. Sedu sedan mereka memecahkan keheningan siang di ruangan itu.

RITME hidup di rumah keluarga Irwanto pun berubah, disesuaikan dengan kondisi Irwanto, yang hampir semua kegiatan hidupnya harus dibantu. Termasuk buang air besar dan kecil. Ia juga harus memakai popok. "Sehari sebelum bekerja lagi, saya konsultasi sama Irene karena setiap saya bergerak selalu keluar kotoran. Saya khawatir baunya mengganggu orang lain," kata Irwanto.

Menurut Irene, Irwanto sebenarnya takut bertemu teman- teman lamanya, takut melihat reaksi mereka. Tetapi semua itu ternyata tak berdasar. "Ini mukjizat luar biasa," ujarnya setelah melihat tubuhnya tidak bereaksi seperti yang ia khawatirkan.

Sebelum peristiwa pahit itu terjadi, Irwanto banyak membantu teman-temannya di organisasi nonpemerintah memberikan pelatihan mengenai posttraumatic stress disorder (PTSD). Kini ia siap membantu mengatasi PTSD pada para korban cacat akibat ledakan bom. "Barangkali mereka akan lebih percaya, karena kondisi saya sama seperti mereka," ujar Irwanto.

Dalam hal itu, trauma terutama disebabkan oleh rasa sakit yang konstan selama 24 jam. "Pada korban bom, bekas luka- luka yang menganga itu sakitnya bukan main. Pada saya, tangan ini sering saya pukul- pukulkan karena sakitnya enggak keruan. Namun, trauma sebenarnya juga membuat kita bertanya, siapa kita, dan apa artinya semua ini," lanjutnya.

Setelah masa-masa paling pahit terlalui, keluarga mereka harus memperteguh komitmen untuk mendorong dan terus menemani mereka melanjutkan perjalanannya. "Saya sedang menyiapkan buku judulnya Melihat Dunia dari Kursi Roda, kata Sartono.

Irwanto akan melanjutkan penelitian-penelitiannya yang tertunda. Pekan kemarin ia sudah ikut menguji mahasiswa S-3 di Universitas Indonesia di Depok.

Sartono dan Irwanto akan memperpanjang barisan para tokoh yang terus berkarya dalam keterbatasan fisiknya, seperti penyair John Milton dari Inggris yang mengalami kebutaan pada usia 43 tahun. Mereka tegak menghadapi risiko apa pun, demi harapan, kehidupan dan kemanusiaan. Ayo! (MH)

Sumber: KCM - 17 Oktober 2004

Moral Individu



Banyak berita menarik bertemakan tentang pembenahan negri oleh media massa yang secara garis besar mempertanyakan "kesanggupan" kabinet mendatang dalam memenuhi ekspektasi sebagian besar rakyat Indonesia.

Pernah ada cerita dari seorang guru agama saya dulu yang menceritakan suatu keadaan (bahaya) dan bagaimana kita menyikapi keadaan itu.

Pada suatu ketika di suatu hutan lebat, terjadi kebakaran besar yang membuat semua penghuni hutan kalang kabut.

Disatu pojok, terdapatlah se ekor katak yang menyemprot-nyemprotkan air dengan mulutnya untuk memadamkan api hutan yang kian membesar. Semua juga tahu kalau usaha ini tidak akan bisa memadamkan api tersebut karena api sudah terlalu besar dibandingkan dengan semprotan air si katak.

Di pojok lain, terdapatlah seekor kadal yang melempar-lemparkan kayu kayu kering yang mungil kedalam api untuk memperbesarkan api hutan yang sudah besar. Semua juga tahu bahwa tambahan ranting sebesar mulut kadal sangatlah kecil sekali kontribusinya dalam membesarkan api.

Di pojok lain yang agak jauh dari api terdapatlah seekor kera yang menonton kebakaran hutan tersebut sambil terus berkomentar mengomentari penghuni-penghuni hutan baik yang ketakutan, yang lari, yang berusaha memadamkan atau bahkan juga yang justru berusaha menambah api.

Dari cerita di atas, tidak ada satupun yang ternyata bisa memadamkan api, baik si katak, kadal ataupun kera. Pak guru agama pun lalu merujuk pada perbuatan ketiga tokoh tersebut dan dikait-kaitkan dengan pahala surga dan siksa neraka. Penjelasan pak guru agama adalah; si katak masuk surga, sedangkan si kera dan kadal masuk neraka.

Itu dongeng sebelum tidur pada masa kecil dulu.

Moral yang ingin disampaikan pada waktu itu adalah walaupun ketiganya tidak berhasil mamadamkan api, tapi apa yang didapat dari ketiganya berbeda karena niat dan perilakunya menghadapi api tersebut.

Ada pendidikan moral lain dalam cerita diatas, yaitu perbuatan baik sekecil apapun bahkan saking kecilnya sampai-sampai tidak terlihat atau bahkan ditertawakan atau di olok-olok, semuanya tidak luput dari pengamatan Allah SWT. Bisa saja pelaku perbuatan baik itu terlihat sangat biasa, tapi sesungguhnya dialah yang sangat dimuliakan Allah dan surgalah tempat berpulang yang terbaik baginya.

Katakanlah sekarang misalnya api tersebut adalah semua persoalan bangsa yang harus diselesaikan (seperti api yang harus dipadamkan), lalu kalau kita berlaku seperti katak dalam cerita diatas, apalah artinya usaha seorang individu katak dalam "memadamkan api" tersebut. Begitupun kontribusi seorang individu kadal atau seorang individu kera. Api tidak akan terpengaruh.

Lain halnya kalau itu dilakukan dalam jumlah yang besar. Pasti akan berpengaruh pada api tersebut. Tinggal dilihat kalau banyak kera, api tidak padam, banyak kadal, api justru makin besar. Banyak katak, ada kemungkinan api mengecil dan bahkan padam.

Sewajarnyalah semua pendidikan selalu menanamkan moral-moral yang baik kepada anak didiknya. Anak-anak sebagai penerus bangsa akan melihat orangtuanya, karena merekalah satu-satunya orang yang dia punya di dunia ini. Kalau masing-masing dari kita walaupun kecil ikut berkontribusi menyelesaikan persoalan bangsa, Insya Allah anak-anak kitapun akan turut pula berkontribusi dan Insya Allah persoalan bangsa akan lebih cepat terselesaikan.

Persoalannya adalah perbuatan baik yang kecil lebih sukar dilakukan dari pada perbuatan buruk yang kecil. Misalnya memberi jalan pada penyebrang jalan lebih sulit dilakukan dari pada menerima sogokan suatu proyek. Kabinet apapun yang akan datang, hasilnya akan lain kalau masing-masing individu bangsa barsikap seperti katak dalam cerita hutan terbakar tadi.

Agar tak Menjadi Debu


Artikel Muslimah - Sunday, 10 October 2004

Ada yg menangis tertahan, ketika daurah bekal pernikahan itu berlangsung. "Saya jenuh, berkali2 mengikuti daurah dengan tema yg sama, namun saya masih saja sendirian. Sptnya harapan wujudnya keluarga islami yg indah dan mempesona itu hanya sebuah utopia. Mimpi indah yg pamit pergi saat subuh datang. Pedih, sebab embun pagi pun hamoir slalu berkabut," ujarnya pelan.

Ukhti kita ini tidak sendirian, ratusan bahkan mungkin ribuan muslimah "baik-baik" yg lain, berjajar di antrian panjang menunggu dipinang. Bukan soal layak atau tidaknya manikah, sebab mereka sangat layak. Berwawasan, berkepribadian, punya komitmen, dan tidak menuntut banyak. Dalam banyak hal mereka sungguh2 telah siap lahir batin. Juga bukan soal laku atau tidak sebab mereka bukan barang dagangan

Meski sama pd tingkat penampakan yg sama, sama2 tidak memiliki pasangan, ada perbedaan mendasar antara orang2 yg menolak menikah dengan orang yg belum menikah. Atas nama apapun. Yang satu telah menentang fitrah dan membuat bid'ah yg dibenci Allah dan Rosul-nya, sedang yg lain memang sedang "diuji" imannya.

Kesendirian mereka justru karena keinginan menikah dlm arti yg sebenarnya, bukan sekedar kawin dng lawan jenis. Menikah untuk membangun pndasi ibadah yg lebih kokoh, dan mendapat ridha Allah. Dan itu hanya mungkin bila suami2 mereka adalah hamba2 yg "sampai" pemahaman maupun amalnya pd tingkatan "qawwam"

Sebab menikah mjd pertaruhan dan mereka tidak ingin menghancurkan benteng pertahanan mereka sendiri. Menikah haruslah menjadikan sgala ibadah lebih baik, kualitas dan kuantitasnya. Bukan malah menjadi awal kehnacuran akidah dan ibadah mereka.

Dan ketika lelaki spt ini mjd makhluk langka atau ada dlm jumlah terbatas. Bersusah payah mereka mempertahankan huznuzhan mereka kpd Allah di tengah pandangan sinis dan melecehkan. Mereka bukannya jual mahal atau mempersulit diri namun tidak mungkin rasanya menukar nikmat iman kpd laki-laki tanpa kriteria, tanpa konsep hidup yg jelas. Bagaimanapun mereka tidak ingin menghargai murah keyakinan mereka

Ini adalah pertempuran melawan gejolak nafsu dan keinginan "dimiliki". Pertempuran melawan nurani yg sering menjerit atau naluri menjadi ibu yg memang milik mereka. Mereka berjuang sendirian sebab orang lain tidak akan pernah merasakan kepedihan mereka. Mereka tabah dan tidak ingin semua pengorbanan ini menjadi abu, tak menyisakan kebaikan di sisi Allah. Alangkah beratnya !!

Dalam kesendirian, mereka adalah pahlawan, dalam renungan dan tangisan, mereka adalah manusia perkasa. Jadi kalau tidak mampu menikahi mereka, meski untuk menjadi istri kedua, tolong hargai prinsip dan kemuliaan mereka. Doakan keistiqomahan mereka, atau malah pemahaman kita yg belum sampai ? wallahu a'lam

Ar-Risalah (penulis: Chandra Kurniawan)

Mengapa Tujuan Sangat Penting?


Pada hari yang sangat cerah, kaca pembesar yang terkuat pun tidak akan dapat membakar kertas jika kita terus menggerakkan kaca tersebut. Tetapi jika kita berfokus dan menahannya, maka kertas itu akan terbakar. Itulah kekuatan konsentrasi.

Seorang pria yang sedang berjalan-jalan, kemudian berhenti di sebuah persimpangan. Ia bertanya kepada seorang tua," Kemana jalan ini menuju?"

Orang tua itu menjawab," kemana Anda hendak pergi?" Orang itu menjawab," Saya tidak tahu." Orang tua itu berkata," Ambillah jalan mana saja. Adakah bedanya?

Alangkah tepat jawabannya. Bila kita tidak mengetahui kemana kita akan pergi, jalan manapun akan membawa kita ke sana.

Misalkan kita memiliki sebelas orang pemain sepak bola yang penuh antusias dan semuanya siap bertanding, dan kemudian ada seseorang yang membawa pergi tiang gawang. Apa yang terjadi dengan pertandingan itu ? Pertandingan itu akan bubar. Bagaimana kita bisa menciptakan angka? Bagaimana kita tahu jika sudah sampai tujuan? Antusiasme tanpa arah adalah seperti api yang liar dan akan menimbulkan frustasi. Tujuan akan menentukan arah.

Maukah kita duduk di atas kereta api atau di dalam pesawat terbang tanpa tahu kemana tujuannya ? Jawabannya tentu saja tidak. Kalau begitu mengapa orang menjalani hidup tanpa tujuan tertentu ?

Sumber: Disadur dari dari buku karangannya "Shiv Khera"

Pencuri Impian


Ada seorang gadis muda yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol dibanding dengan rekan-2nya, sehingga dia seringkali menjadi juara di berbagai perlombaan yang diadakan. Dia berpikir, dengan apa yang dimilikinya saat ini, suatu saat apabila dewasa nanti dia ingin menja di penari kelas dunia. Dia membayangkan dirinya menari di Rusia, Cina, Amerika, Jepang, serta ditonton oleh ribuan orang yang memberi tepuk tangan kepadanya.

Suatu hari, dikotanya dikunjungi oleh seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Pakar ini sangatlah hebat,dan dari tangan dinginnya telah banyak dilahirkan penari-penari kelas dunia. Gadis muda ini ingin sekali menari dan menunjukkan kebolehannya di depan sang pakar tersebut, bahkan jika mungkin memperoleh kesempatan menjadi muridnya. Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda berhasil menjumpai sang pakar di belakang panggung, seusai sebuah pagelaran tari. Si gadis muda bertanya "Pak, saya ingin sekali menjadi penari kelas dunia. Apakah anda punya waktu sejenak, untuk menilai saya menari ? Saya ingin tahu pendapat anda tentang tarian saya". "Oke, menarilah di depan saya selama 10 menit",jawab sang pakar.

Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursinya, lalu berlalu meninggalkan si gadis muda begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Betapa hancur si gadis muda melihat sikap sang pakar.Si gadis langsung berlari keluar. Pulang kerumah, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil sepatu tarinya, dan dia lemparkan ke dalam gudang. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan lagi menari.

Puluhan tahun berlalu. Sang gadis muda kini telah menjadi ibu dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal. Dan untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah toko di sudut jalan.

Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari yang diadakan di kota itu. Nampak sang pakar berada di antara para menari muda di belakang panggung. Sang pakar nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si ibu muda dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari tersebut. Seusai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang pakar, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada sang pakar. Sang pakar masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab. Si ibu bertanya, "Pak, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan anda bertahun-tahun yang silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu, sehingga anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah katapun?"

"Oh ya, saya ingat peristiwanya. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-2 berhenti dari dunia tari", jawab sang pakar.

Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawaban sang pakar. "Ini tidak adil", seru si ibu muda. "Sikap anda telah mencuri semua impian saya. Kalau memang tarian saya bagus, mengapa anda meninggalkan saya begitu saja ketika saya baru menari beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya menjadi pelayan toko!"

Si pakar menjawab lagi dengan tenang "Tidak .... Tidak, saya rasa saya telah berbuat dengan benar. ANDA TIDAK HARUS MINUM ANGGUR SATU BAREL UNTUK MEMBUKTIKAN ANGGUR ITU ENAK. Demikian juga saya. Saya tidak harus menonton anda 10 menit untuk membuktikan tarian anda bagus. Malam itu saya juga sangat lelah setelah pertunjukkan. Maka sejenak saya tinggalkan anda, untuk mengambil kartu nama saya, dan berharap anda mau menghubungi saya lagi keesokan hari. Tapi anda sudah pergi ketika saya keluar. Dan satu hal yang perlu anda camkan, bahwa ANDA MESTINYA FOKUS PADA IMPIAN ANDA, BUKAN PADA UCAPAN ATAU TINDAKAN SAYA.

Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. PUJIAN ITU SEPERTI PEDANG BERMATA DUA. ADA KALANYA MEMOTIVASIMU, BISA PULA MELEMAHKANMU. Dan faktanya saya melihat bahwa sebagian besar PUJIAN YANG DIBERIKAN PADA SAAT SESEORANG SEDANG BERTUMBUH, HANYA AKAN MEMBUAT DIRINYA PUAS DAN PERTUMBUHANNYA BERHENTI. SAYA JUSTRU LEBIH SUKA MENGACUHKANMU, AGAR HAL ITU BISA MELECUTMU BERTUMBUH LEBIH CEPAT LAGI. Lagipula, pujian itu sepantasnya datang dari keinginan saya sendiri. TIDAK PANTAS ANDA MEMINTA PUJIAN DARI ORANG LAIN".

"Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele. Seandainya anda pada waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari, mungkin hari ini anda sudah menjadi penari kelas dunia. MUNGKIN ANDA SAKIT HATI PADA WAKTU ITU, TAPI SAKIT HATI ANDA AKAN CEPAT HILANG BEGITU ANDA BERLATIH KEMBALI. TAPI SAKIT HATI KARENA PENYESALAN ANDA HARI INI TIDAK AKAN PERNAH BISA HILANG SELAMA-LAMANYA ...".

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Hati-hati dengan Kebiasaan Anda


Ini adalah sebuah cerita dari perkumpulan Anjing di suatu Gurun pasir. Anjing yang satu bernama Blacky dia sangat percaya diri, antusias dan berani. Suatu waktu dalam sebuah perkumpulan anjing-anjing itu ada sebuah kesepakatan untuk mengadakan lomba lari marathon di gurun pasir tersebut. Kemudian di tentukan hari dan jamnya. Setiap peserta di bekali alat komunikasi (katakanlah Handphone), untuk saling mengecek dimana keberadaan mereka sewaktu lomba berjalan. Blacky sangat yakin bahwa dia bisamemenangkan pertandingan, dia bilang " I am going to be a Winner "
berkali-kali. Setiap bertemu dengan temannya dia bilang seperti itu.

Perlombaan di mulai, mereka sudah start. Beberapa waktu berjalan si Blacky benar-benar berada paling depan, melejit dan meninggalkan peserta lainnya, semakin jauh...jauh....jauh dan jauh. Sampai beberapa jam tidak terlihat oleh peserta yang lain. Setiap beberapa menit Blacky menelpon teman-temannya bahwa dia akan menjadi THE WINNER, dia bilang tinggal beberapa step lagi akan menuju finish. Dia tetap lari jauh meinggalkan lainnya. Dia telphone lagi ke teman-temannya, 1 step lagi dia akan MENANG. Kemudian beberapa waktu lagi dia telphone lagi ke teman-temannya bahwa garis FINISH sudah terlihat oleh dia. Anjing-anjing yang lain, terus berlari mengejar ketinggalan dan berusaha menuju Finish.

Tetapi mereka sangat bingung kenapa si Blacky tidak ada di garis finish, mereka mencari si Blacky ke segala penjuru, mereka berusaha menelpon Blacky, tetapi selalu mail box dan tidak ada jawaban. Beberapa lama mereka belum temukan Blacky, kemudian para anjing sepakat untuk menyewa Helikopter untuk mencari Blacky. Mereka berputar-putar di gurun pasir tersebut dan lama belum dapatkan Blacky. Akhirnya mereka melihat ada sebuah titik kecil, kemudian helikopter tersebut menuju titik hitam tersebut. Benar sekali bahwa itu adalah Blacky, dan alangkah terkejutnya mereka karena Blacky terdiam tak bergerak sedikitpun. Mereka menyentuh hidungnya dan Blacky sudah tidak bernyawa. Beberapa dari mereka saling menganalisa, kenapa Blacky bisa seperti itu. Ada yang berpendapat mungkin dia kelaparan, tetapi setelah di cek tasbekal makanannya masih banyak.

Ada lagi yang menganalisa, mungkin dia kehausan, kemudian di cek lagi bahwa botol minumnya juga masih banyak. Ada yang lain mengira Blacky terluka, tetapi para ahli dokter hewan dari dunia anjing mengecek bahwa Blacky tidak terluka, semua tubuhnya mulus. Akhirnya ada 1 dokter yang lain memberikan alasan yang paling tepat, setelah cek secara medis, bahwa Blacky mati karena dia terlalu lama menahan air kencing, dan dia berusaha untuk membuang air kencing tersebut, tetapi lama mencari pohon dan tidak dapatkan. Jadi kebiasaan Blacky dan anjing umumnya adalah kencing di tiang pohon dengan mengangkat salah satu kakinya. Dan Blacky mati karena tidak membuang air kencingnya, karena dia tidak dapatkan pohon di gurun pasir tersebut.

Apa moral dari cerita diatas?
Bahwa kebiasaan yang jelek itu bisa membahayakan kita. Apalagi jika kita tidak sadar dan tidak mau merubah kebiasaan kita. Karena kebiasaan mempengaruhi cara hidup kita. Cara hidup kita mencerminkan karakter kita, dan Karakter kita mempengaruhi nasib dan masa depan kita. Kebanyakan orang memang sulit untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung berulang-ualang bahkan bertahun-tahun, dan kebanyakan orang takut kehilangan, karena setiap perubahan akan menghilangkan sesuatu. Tapi yakinlah jika perubahan baik pasti akan menjadi baik pula.

Bambang Wicaksono

Tutup Lubang atau Gali Lubang


Diwaktu usia saya masih remaja, seorang teman bertanya kepada saya, seberapa lama kamu tinggal dalam kamarmu?, lalu saya berpikir, seingat saya, kamar itu menjadi milik saya sejak saya berusia 10 tahun, jika waktu itu saya berusia 17 tahun, berarti kurang lebih sudah 7 tahun saya tinggali kamar itu. Lalu teman saya bertanya lagi selama 7 tahun kamu tinggal didalam kamarmu, apakah kamu tahu, adakah lantai kamarmu yang lubang sehingga itu membahayakanmu?, saya berpikir lagi kenapa tidak, jelas tahu dong, dia masih bertanya lagi, setelah kamu tahu itu membahayakanmu apa yang kamu lakukan?. Saya semakin tidak mengerti arah pembicaraannya, lalu saya balik bertanya memangnya kenapa? Apa lantai kamarmu rusak, atau mau renovasi kamar? dia malah tersenyum dan menjawab ya saya mau renovasi kamar, kamar hati saya, mendengar itu saya semakin bingung, apa sih maunya, kok semakin tidak jelas.

Ternyata dia menjelaskan bahwa pertanyaan diatas hanyalah ilustrasi belaka tentang pertobatan seseorang. Pertama-tama ketika dia baru saja bertobat mungkin sesekali dia jatuh kedalam dosa yang sama, akan tetapi jika bertahun-tahun kondisinya tetap dia jatuh dalam dosa yang sama, itu berarti bukanlah pertobatan. Sama seperti saya yang telah tinggal selama 7 tahun dalam kamar saya, akan tetapi saya tetap saja tidak tahu bahwa kamar saya itu berlubang bahkan tidak ada keinginan untuk menutup lubang itu, sehingga setiap kali saya harus jatuh dalam lubang yang sama di dalam kamar saya sendiri, bukankah itu adalah sesuatu kekonyolan? Karena seseorang yang bertobat adalah orang yang benar-benar menutup lobang dosanya yang artinya dia benar-benar meninggalkan dosa itu.

Sumber:
Hasil sharing bersama teman-teman diwaktu remaja
*Diah*

Tita ku sayang,



Nak, ketika ayah menulis ini, tepat 20 September 2004, ketika rakyat negeri sedang menentukan nasibnya sendiri, nasib bangsanya, nasib bangsa kita, nasib bangsamu Nak, untuk lima tahun ke depan. Semoga kelak, entah kapan...., dirimu akan mampu bangkit dan mandiri, tidak seperti bangsa kita, bangsamu jua. Yang terus terpuruk sejak lahirnya di tahun empat lima, terus terjajah oleh segelintir manusia tak tahu diri dan bangsa lain negeri pada negerinya sendiri.

Ayah tiba-tiba ingin memberikan kado ulang tahunmu buatmu, Nak. Kado ini yang hanya ayah mampu berikan, Kado yang mungkin baru engkau mampu ketahui kelak, entah beberapa lama lagi. Semoga.....engkau dapat segera membacanya.

Ayah membuat kado ini, ketika berada di dekatmu Nak, yang sedang terlelap ditemani bunda tercinta, yang juga terlelap di sisimu, di siang hari yang santai, ketika kalian sedang libur dari kegiatan sehari-hari. Kegiatan yang melelahkan kalian setiap harinya, dan sudah berlangsung hampir empat tahun lamanya. Ayah tahu engkau harus menerobos hujan dan panas, polusi serta debu jalanan bersama kekasih ayah tercinta, Ibundamu Nak. Itu menjadi santapan harianmu sejak dulu hingga kini, karena dirimu harus keluar masuk klinik tumbuh kembang, yang kadang berada jauh di pelosok dan pinggir Jakarta yang kering kerontang ini, mencari tempat yang sesuai dengan kebutuhanmu yang khusus itu. Ya....kata para ahli, dirimu mengidap sindroma autis disertai hiperaktif.

Penyakit yang sebab timbulnya pun masih menjadi perdebatan disana-sini, juga di negara-negara sana, yang katanya kondisi kesehatannya sudah sangat tinggi sekalipun. Apatah lagi di negaramu Nak, yang carut marut, ada bermacam-macam pengobatan mengemuka, disertai kabar kabur kemujarabannya, juga kadang tak jelas keberhasilannya, kadang hanya berorientasi materi semata. Berharap kepada pemerintah negeri sama dengan mimpi di siang bolong. Karena yang dipikirkan para petinggi negeri hanya bagaimana menjual seluruh aset negeri bagi kantong sendiri.

Namun sebagai muslim, agama kita mengajarkan, bahwa kita harus tetap berusaha, disertai doa kemudian. Tentunya engkau tahu, kita hanya hidup bertiga sekarang ini, saudara-saudara kita sudah sibuk dengan urusannya sendiri, sedang nenek dan kakekmu pun sudah terlalu renta untuk mampu mengawasimu. Juga tak bermoral rasanya, mereka yang pernah direpotkan oleh ayah dan bundamu dulu, harus kembali direpotkan oleh anak "special" sepertimu. Ditambah lagi karena ayah dan bundamu tak sanggup membayar orang yang dapat jadi pengasuhmu, karena untuk ongkos menuju tempat terapimu pun, kadang kala kami harus bersusah payah menghemat isi dompet, yang kadang sudah tak ada isinya lagi.

Setelah berjalan empat tahun kesana kemari, sudah banyak kemajuan yang engkau dapatkan, banyak orang tak mengetahui bahwa dirimu adalah anak "special", sampai kau diajak berbicara dan ditanya langsung oleh mereka. Itu satu-satunya problem yang masih engkau kau hadapi saat ini. Sikapmu sudah sangat manis, penurut dan periang juga tidak bergerak secepat dulu. Itu yang kusuka darimu. Kau sudah mampu menunjukkan emosi dan keinginanmu dengan lebih baik dan terkontrol, tidak pernah lagi kau mengamuk atau menangis berkepanjangan, apalagi di malam hari, seperti ketika umurmu dua tahunan dulu, yang membuat kedua orang tuamu malu kepada para tetangga.

Kini, Ibumu sedang hamil tujuh bulan, ia sedang mengandung bayi bakal adikmu. Ini membuatnya tidak selincah dulu dalam menemanimu, malah kadang-kadang ia tak sanggup mengejar larimu yang lincah bak seorang sprinter. Ia sekarang sering lelah, maafkan Ibumu Nak, bila ia tak sesehat kemarin dulu. Mungkin karena ia sedang mengandung adikmu. Tapi keikhlasannya dalam membimbing dan menemanimu setiap waktu, tak bakal lekang oleh waktu. Semoga Allah Swt senantiasa memuliakannya, karena ia telah rela mengorbankan karir dan masa depannya untuk membesarkan dan mendidikmu Nak, semata-mata hanya karena Allah.

Nak, Ia juga seorang ibu yang baik, yang mampu berdikari di dalam rumah tangganya yang penuh dengan banyak cobaan. Ia perempuan yang mandiri, yang kadang-kadang malah lebih laki-laki dari ayahmu sendiri, meski kadang-kadang ia semaunya sendiri dalam berkegiatan diri. Ibumu, perempuan yang penuh perhatian, meski kadang-kadang ayahmu sendiri yang kurang perhatian padamu serta pada dirinya. Dengan alasan klasik, capeklah, stresslah, banyak kerjaanlah dan macam-macam alasan lainnya. Padahal hari-harimu dan bunda, pasti terasa lebih berat dibanding hari-hari ayah, yang bekerja diruangan ber-AC.

Ayah merasa, belum mampu membahagiakan Ibundamu. Yang mampu ayah lakukan hanya marah dan marah. Maafkan ayah Bunda..... Sering, ia pun marah padamu, tapi bukan berarti ia benci padamu Nak, itu hanya lampiasan emosi sejenaknya yang mungkin sedang terhimpit beban berat, yang kadang ia sendiri tak tahu bagaimana mengatasinya.

Kadang ayah pun memarahimu Nak, namun itu karena ayahmu masih belum bisa menjaga emosinya, yang kadang meledak akibat contoh yang ditunjukan kakekmu dulu kepada ayah. Maafkan ayah Nak, mungkin dirimu tahu, atau juga bundamu lebih tahu, bahwa ayah telah coba kurangi kadar kemarahan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menulis, makanya sekarang ayah menulis, buat hadiah ulang tahunmu Nak, mudah-mudahan bermanfaat bagi ayah sendiri dan juga masa depanmu nanti.

Ayah membuat kado ini, ketika usiamu sudah enam tahun. Ketika kau baru saja masuk TK sekarang, meski baru TK Kecil. Memang sangat terlambat, tetapi tak mengapa, kami orang tuamu sudah cukup senang melihatmu mampu bergaul dan bermain bersama anak-anak yang normal, tak ada kata terlambat buatmu Nak. Bahkan ayah dengar dari bundamu, bahwa dirimu sudah bisa berteman, satu hal yang sangat sulit kau lakukan dulu. Kata ibumu lagi, dirimu sudah jadi anggota kelompok yang suka menjahili teman-temannya yang lain, sehingga sering dimarahi oleh guru. Tidak apa-apa Nak, ayah tahu kau hanyaikut-ikutan temanmu itu, kau akan terus belajar dari sekelilingmu.
Ayah sangat senang dan bangga Nak, kamu sudah bisa berinteraksi dengan sesama. Di saat teman-teman seusiamu sudah pintar mengaji, menyanyi, dan banyak kegiatan lainnya, atau mengikuti kontes-kontesan seperti AFI Junior dan Bintang Cilik, kau baru memulai dan merintis hari-hari depanmu........

Ayo...Nak, Ayah dan Bunda bantu dengan doa......

Apalagi bila melihat penderitaan anak-anak di Irak, Palestina, Checnya. Melihat semakin penderitaan di negeri ini, semakin banyaknya anak-anak jalanan, juga anak-anak yang tak mampu bersekolah. Serta dimana-mana bergelimpangan anak-anak yang fisik dan deritanya melebihi penderitaan yang ayah dan bunda rasakan. Hati kami, orang tuamu menjadi lebih lapang dan mampu kembali bermunajat dan mengucap syukur Alhamdulillah, bahwa penderitaan kami tidak seberat perjuangan mereka di luar sana.

Nak, siang ini ayah harus rela menguras air mata, ketika membuat kado ulang tahunmu, ayah terkulai lemah menahan luka yang telah ayah torehkan kepada kalian berdua, membuat ayah jadi teringat pesan Pencipta kita "Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya".

Ya Allah
Begitu banyak rahmatMu yang tak kusadari
Begitu banyak pemberianMu yang kuingkari
Begitu banyak nikmatMu yang tak kusyukuri
Pandanganku tertutup oleh cobaan yang Kau beri

Ya Allah
Maafkan aku......


Depok, 20 September 2004
Dwinu Panduprakarsa
- Seorang ayah dari anak "special"-

Kenapa Kamu Harus Hidup?


Aku mempunyai seorang teman, sebut saja namanya Roy. Yah.meskipun dia tidak terlalu tampan & bukan anak orang kaya.., tapi dia adalah seorang teman yang baik, ramah, dan suka menolong. Dia selalu mengutamakan temannya bahkan lebih daripada kepentingan dirinya sendiri. Dia adalah orang yang selalu tersenyum dan tertawa, meski di dalam hatinya aku tahu, ada kesedihan yang dalam, karena di keluarganya dia selalu jadi bahan makian orang tuanya, orang tuanya selalu mengatakan bahwa dia adalah anak yang bodoh, anak yang tidak berguna. Di rumah dia menjadi seorang pemberontak sedang di sekolah dia berubah menjadi orang yang sangat bahagia, selalu tertawa dan 'agak berlebihan' dalam mencari perhatian teman-temannya.

Aku mengerti dia melakukannya karena untuk menutupi kesedihannya sewaktu di rumah. Suatu saat, akhirnya dia memiliki seorang pacar, pacar yang cantik, baik, & pintar. Roy sangat mencintainya.. Meski demikian, dia tidak pernah melupakannya teman-temannya seperti kebanyakan orang yang lupa akan temannya pada saat dia menemukan cintanya Kami masih sering berbicara, dia menceritakan berbagai hal ttg pacarnya itu, Dia bercerita bahwa masa pacaran adalah saat yang paling indah yang pernah dia rasakan dalam hidupnya. Namun setelah 2 bulan berlalu, dia putus dengan pacarnya itu, karena pacarnya merasa banyak ketidakcocokan dengannya. Seringkali mereka bertengkar karena hal yang sepele,Roy lebih sering diatur-atur tentang ini itu oleh pacarnya. tetapi karena Roy merasa dirinya adalah seorang pria yang keras juga, Roy tidak mau diatur siapapun, dia seringkali membantah dan marah...Karena demikian pacarnya memutuskan hubungannya, karena pacarnya sudah tidak bisa lagi memahami Roy.

Roy pun menyesali atas kelakuannya pada pacarnya dan meminta pacarnya agar dapat kembali bersamanya. Tetapi keputusan pacarnya sudah bulat. . Roy pun menceritakan semuanya padaku di telepon, dia berkata, dia tidak bisa hidup lagi tanpa pacarnya yang bisa menolongnya, menghiburnya, yang selalu ada di sisinya. Dia mengatakan sudah tidak tahan lagi atas segala masalah yang terjadi, baik itu masalah dengan pacarnya ataupun masalah dengan keluarganya, dia berulang kali mengatakan ingin bunuh diri, dia mengatakan ingin minum racun tikus atau minum pembasmi serangga dan macam-macam. Aku lalu melarangnya dan berteriak "Jangan!! Jangan bicara seperti itu, kau tahu hidupmu sangat berharga," Lalu terdengar tawa kecil yang dipaksakan dan bernada dingin terdengar di ujung sana, "Yaaa.. Ya...kamu benar."

Lalu kami mematikan telepon, tapi setelah kami berjanji akan langsung tidur. Namun aku sama sekali tidak merasa mengantuk. Aku begitu khawatir dan merasa akulah satu-satunya harapan Roy. Ia sudah berulang kali mengatakan padaku bahwa sulit baginya membuka diri kepada siapapun selain kepadaku. Bagaimana mungkin ada orang yang tak ingin hidup? Aku bahkan bisa membuat daftar alasan mengapa aku bahagia bisa bangun setiap pagi. Dengan panik aku memutar otak mencari cara meyakinkan Roy tentang hal ini. Lalu seolah-olah bola lampu di kepalaku menyala. Aku mengambil selembar kertas notes dan memberinya judul, "Mengapa Roy harus Hidup", di bawahnya aku memulai mendaftarkan semua alasan yang terpikir olehku tentang mengapa seseorang harus tetap hidup.

Awalnya hanya dimulai dengan beberapa berubah menjadi duapuluh, lalu tigapuluh, lalu empat puluh tujuh. Hingga tengah malam, aku telah menuliskan tujuh puluh tujuh alasan mengapa Roy harus hidup. Sepuluh yang terakhir adalah sebagai berikut : 67) Di kuburan tidak ada tempat bermain video game.
68) Tuhan mencintaimu.
69) Tanah sedalam 2 meter sangat tidak nyaman dibanding kasurmu.
70) Di kuburan tidak ada restoran Steak yang enak.
71) Pelajaran Kalkulus akan sangat membosankan karena tidak ada kamu.
72) Kau belum memenuhi janjimu yaitu mentraktir Pizza.
73) Kau takkan suka bergaul dengan setan selamanya.
74) Katamu kau ingin mengajakku jalan-jalan ke Amerika.
75) Kau kan belum pernah mengendarai mobil BMW yang selalu kauidamkan.
76) Kau tidak bisa melihat lagi indahnya matahari saat terbenam di pantai.
77) Kau tidak pernah boleh menyesali siapa dirimu, kau hanya boleh menyesali apa
dirimu sekarang.

Yakin aku telah berusaha sebaik mungkin, aku naik ke ranjang untuk menunggu pelaksanaan tugas esok hari; menyelamatkan Roy.

Aku menunggunya di pintu ruang kelas, lalu aku serahkan daftar itu saat ia berjalan masuk. Aku memperhatikan dari sisi lain kelas saat ia membaca lembaran penuh bekas lipatan di pangkuannya. Aku menunggu, tapi ia tidak mengangkat mukanya selama satu jam pelajaran.

Setelah pelajaran selesai, aku mendekatinya, khawatir, tapi sebelum aku sempat berkata-kata, kedua lengannya sudah memelukku erat. Sesaat aku membalas pelukannya, airmata nyaris membutakanku. Ia melepaskanku dan dengan tatapan lembut ke mataku, ia berjalan keluar kelas. Ia tak perlu mengucapkan terimakasih, wajahnya sudah mengatakan semuanya.Seminggu kemudian, Roy pindah ke sekolahan lain
supaya bisa tinggal dengan neneknya. Selama berminggu-minggu aku tak mendengar apa-apa, sampai suatu malam, telepon berdering, aku mengangkatnya dan aku mendengar suara yang kukenal sebelumnya. Ia menceritakan bagaimana ia mendapat teman-teman baru disekolahnya dan ia mendapatkan nilai-nilainya jauh lebih baik, dan ia masuk tim sepakbola di sekolahnya.

Lalu dia berkata, "Tapi kau tahu apa yang paling hebat?" aku merasakan kebahagiaan sejati dalam suaranya.

"Aku tidak menyesali siapa diriku, juga apa diriku yang sekarang."Aku hanya bisa mengucapkan syukur, akhirnya dia mengerti..Mengerti siapa dirinya yang sebenarnya.. Untuk apa dia hidup..

Roy sangatlah beruntung, tidak semua orang seberuntung itu pada saat dirinya putus asa, ingin melukai diri sendiri, bahkan ingin bunuh diri karena tidak tahan akan cobaan hidup...Tetapi ingatlah, kamu tidak sendirian dalam hidup ini, masih ada teman-temanmu atau keluargamu yang memperhatikanmu, membutuhkanmu, mencintaimu, dan merasa sangat kehilangan jika kamu mati. Janganlah kau lupakan mereka... :)

Dari : Temanmu yang sangat mencintaimu :)

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Iri Tiada Henti



Ada seorang pemecah batu yang melihat seorang kaya. Iri dengan kekayaan orang itu, tiba-tiba ia berubah menjadi orang kaya. Ketika ia sedang bepergian dengan keretanya, ia harus memberi jalan kepada seorang pejabat. Iri dengan status pejabat itu, tiba-tiba ia berubah menjadi seorang pejabat.

Ketika ia meneruskan perjalanannya, ia merasakan panas terik matahari. Iri dengan kehebatan matahari, tiba-tiba ia berubah menjadi matahari. Ketika ia sedang bersinar terang, sebuah awan hitam menyelimutinya. Iri dengan selubung awan, tiba-tiba ia berubah menjadi awan. Ketika ia sedang berarak di langit, angin menyapunya. Iri dengan kekuatan angin, tiba-tiba ia berubah menjadi angin.

Ketika ia sedang berhembus, ia tak kuasa menembus gunung. Iri dengan kegagahan gunung, tiba-tiba ia berubah menjadi gunung. Ketika ia sedang bertengger, ia melihat ada orang yang memecahnya. Iri dengan orang itu, tiba-tiba ia terbangun sebagai pemecah batu. Ternyata itu semua hanya mimpi si pemecah batu.

Karena kita semua saling terkait dan saling tergantung, tidak ada yang betul-betul lebih tinggi atau lebih rendah. Kehidupan ini baik-baik saja kok... sampai Anda mulai membanding-bandingkan.

Kata Sang Guru: "Rasa berkecukupan adalah kekayaaan terbesar."Pengejaran keuntungan, ketenaran, pujian, dan kesenangan bersifat tiada akhir karena roda kehidupan terus berputar, silih berganti dengan kerugian, ketidaktenaran, celaan, dan penderitaan.Inilah delapan kondisi duniawi yang senantiasa mengombang-ambingkan kita sepanjang hidup.

Kebahagiaan terletak pada kemampuan untuk mengembangkan pikiran dengan seimbang, tidak melekat terhadap delapan kondisi duniawi. Boleh-boleh saja kita menjadi kaya dan terkenal, namun orang bijaksana akan hidup tanpa kemelekatan terhadap delapan kondisi duniawi. Kebahagiaan sejati tidaklah terkondisi oleh apa pun. Be Happy!

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)