Wise Word

Rabu, 24 September 2008

Sikap Menghadapi Kehidupan


Kalau ditanya apa sikap kita terhadap semua hal yang kita hadapi sehari-hari, apa yang akan Anda jawab? Apakah menjawab: "Ya menerima saja apa yang terjadi", ataukah mengatakan "Akan berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari sebelumnya?"

Pada dasarnya itulah dua sikap pokok kita dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Kita akan menjadi orang yang lebih suka menikmati apa pun yang terjadi atau kita memilih untuk setiap kali "terusik" ingin selalu "memperbaiki" kondisi yang kita punyai. Itulah yang ditemukan para peneliti yang tergabung dalam Technonet Asia ketika 1983 mereka memperbaiki modul pelatihan AMT (Achievement Motivation Training). Mereka menyebutkannya sebagai sikap atau dorongan senang kenikmatan (hedonistik) dan sikap atau dorongan ingin merasa bermanfaat/berguna (meaningfullness).

Sikap hedonistik adalah sikap untuk menerima dan menikmati secara apa adanya hal-hal yang terjadi dan sulit menerima perubahan - maunya semua hal berjalan dengan teratur-rutin-terencana. Orang lain melihat orang hedonis sebagai orang yang adem ayem.

Sedangkan orang yang mempunyai dorongan ingin bermanfaat dikenal sebagai orang yang kritis, tidak mudah menerima begitu saja kondisi atau situasi yang ada. Orang semacam itu selalu tidak puas dan akan selalu mencari alternatif baru. Sering juga kelihatan sebagai orang yang selalu "mencari kesulitan".

Sepertinya pikirannya tidak pernah istirahat. Orang lain sudah puas terhadap suatu situasi-kondisi, eh, dia tetap saja mengotak-atik hal-hal yang dapat diubah, mengusulkan hal-hal yang kalau dilaksanakan malah membuat situasi yang sudah "kelihatan baik" harus diubah lagi. Embro, Pipo, dan Hukum Tanam - Tuai

Cara mudah untuk memahami kedua sikap atau dorongan di atas adalah dengan memahami cerita tentang Embro dan Pipo, yang sudah di-VCD-kan oleh sebuah MLM.

Kedua orang itu adalah pemuda yang penuh cita-cita dan keinginan. Suatu saat mereka ditawari untuk menyuplai air dari suatu sumber di perbukitan ke penampungan di perbukitan lain, dan mendapat upah sesuai dengan jumlah ember air yang dapat mereka setorkan. Senanglah mereka itu. Beberapa keinginan dapat tercapai sesuai dengan upah yang mereka dapatkan.

Hanya saja si Pipo kemudian menjadi resah. Apa iya, harus selalu begitu, setiap hari harus berjalan naik-turun bukit, pulang-balik membawa ember-ember air? Sampai berapa lama mereka akan kuat? Usia pasti tidak dapat dibohongi, lama-kelamaan kekuatan badan untuk melakukan satu-satunya kegiatan yang menghasilkan pendapatan itu pasti menjadi berkurang. Mau apa setelah itu? Berhenti bekerja dan tidak mendapatkan penghasilan lagi?

Maka Pipo berpikir kalau ia berhasil membangun jaringan jalur pipa dari sumber air ke penampungan, akan ada cara yang lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan.

Benarkah begitu?

Emangnya mudah membangun jalur pipa? Lalu, selama membangun jalur tersebut ia akan mendapat penghasilan dari mana? Kalau tidak ada setoran ember-ember air, tentu tidak akan ada upah yang didapat, ya kan?

Tentu saja bukan Pipo kalau menyerah pada hambatan-hambatan tersebut. "Jer basuki mowo beyo (artinya: semua kesenangan selalu ada harganya)", katanya. "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian", sambungnya dengan tekad bulat.

Karena itu, terbangunlah jaringan jalur pipa tersebut. Pipo sekarang tinggal ongkang-ongkang kaki, tanpa perlu lagi bekerja keras penghasilan sudah mengalir sendiri seperti aliran air di dalam pipa yang dibangunnya. Sedang si Embro tetap saja terbungkuk-bungkuk pulang-balik naik-turun bukit menenteng ember-embernya.

Kalau ditanyai, pasti semua dari kita memilih cara yang dilakukanPipo. Cuma saja, maukah kita berolah-pikir untuk keluar dari hal-hal rutin yang sudah kita akrabi dan kita laksanakan setiap hari? Dapatkah kita melihat alternatif selain yang yang biasa kita lakukan? Maukah kita bersakit-sakit, padahal kita dapat bersenang-senang sekarang? Pipo memang sadar bahwa harus ada cara lebih baik dibanding dengan yang sudah selama ini dilakukan sehari-hari. Ia menginginkan perubahan dan secara sadar melakukan daya-upaya supaya perubahan itu terjadi.

Harus diingat bahwa selama proses itu terjadi banyak hal "tidak nyaman" yang harus ditanggungnya: tidak menerima upah, melakukan kegiatan yang tidak mudah, yaitu membangun pipa. Belum lagi kalau ada cemoohan yang dilontarkan orang-orang yang skeptis terhadap apa yang dilakukannya (pasti selalu saja ada orang yang mencemooh hal-hal baru yang dilakukan!). Tetapi orang-orang seperti Pipo itu percaya pada hukum tanam-tuai (the law of harvest). Ia percaya bahwa akan panen (menuai) sesuatu yang ditanamnya. Kalau menanam kebaikan, kebaikan jugalah yang akan dituai. Kita akan panen kentang, bukan pepaya, kalau menanam kentang. Kalau membesarkan anak sapi, besarnya pasti juga akan menjadi sapi, bukan kuda. Selain itu, ia percaya bahwa ada jarak, atau proses waktu, di antara kegiatan menanam dan menuai.
Tidak mungkin menanam hari ini, kemudian besok pagi panennya.

Untuk dapat panen, benih yang ditanam tidak boleh lupa dipelihara: disirami, disiangi (dibersihkan dari tanaman pengganggu yang akan mengancam) dan semacamnya. Dalam kenyataan sehari-hari, aktivitas Pipo yang berdisiplin, commit terhadap ide yang kemudian dilaksanakannya dan terus membangun komitmen melaksanakannya sampai selesai terbangun jaringan jalur pipa adalah tindakan yang seperti menyirami atau menyiangi "tanamannya".

Akhirnya, hasil panenan pasti akan lebih banyak daripada yang ditanam. Kita menanam satu butir padi, panennya pasti berlipat menjadi 30, 60 atau ratusan butiran padi. Tidak mungkin menanam sebiji pepaya, yang dipanen hanya sebuah pepaya doang, kan? Pasti ada berpuluh-puluh pepaya yang dapat kita panen!

Peka terhadap Perubahan

Orang seperti Pipo memang selalu peka terhadap kondisi yang dihadapi dan selalu siap berubah sesuai dengan tuntutan kondisi yang ada. Dunia sendiri selalu berubah. Contoh yang mudah adalah peralatan tulis.

Sekian puluh tahun yang lalu, alat untuk menulis adalah mesin ketik, yang berevolusi, mulai dari segede meja sampai ke yang portable, Kemudian komputer menggantikannya. Tetapi, ketika komputer mulai diperkenalkan, orang tidak pernah mengira bahwa akan menjadi seperti sekarang. Dulu komputer berbentuk benda setengah kamar, berevolusi menjadi sebesar radio meja, lalu kita kenal jenis XT, sekarang ada laptop, palmtop atau digabung dengan fungsi lain menjadi PDA.

Banyak lagi contoh untuk perubahan semacam itu. Kalau kita tidak dapat mengikutinya, kita akan menjadi obsolete people. Artinya orang yang basi (sehingga tidak mempunyai pemahaman terhadap kemajuan) atau gaptek (gagap teknologi).

Contoh jelas yang tidak dapat mengikuti perubahan adalah dinosaurus. Perubahan besar yang terjadi di bumi tidak dapat diikutinya sehingga binatang itu kehilangan sumber makanannya dan musnah semua, tidak tersisa sedikit pun.

Dari peristiwa itu, Charles Darwin yang terkenal itu meninggalkan kata-kata mutiara bagi kita: "Bukan mereka yang terkuat dan terbesar yang akan dapat mempertahankan eksistensinya - tetapi hanya mereka yang mampu beradaptasi terhadap perubahan".

Untuk Pipo, ia malah menciptakan perubahan itu sendiri karena bersikap proaktif dengan membuat abstraksi (membuat gambaran) setelah berpikir tentang "apa iya harus terus mengangkut ember demi ember sampai tua nanti."

Sikap-sikap proaktif seperti itulah yang membuat orang dapat tetap maju. Pakar manajemen Peter Drucker mengatakan orang semacam ini akan selalu "mencari di mana yang mungkin dilakukan perubahan, memberi respons yang pas terhadap perubahan dan mengeksploitasi perubahan sebagai suatu peluang."

Hambatan

Alangkah menggairahkannya membayangkan menjadi orang proaktif dan mampu berpikir ditambah bertindak seperti Pipo, kan? Tetapi, tentu saja menjadi orang semacam itu tidak semudah kita mengucapkan mantera sim sala bim. Ada banyak hambatan untuk mulai melangkah ke sana.

Hambatan paling besar adalah sikap mental. Mereka yang terbiasa hidup apa adanya pasti tidak akan pernah hepi, pun dengan hanya membayangkan harus berolah pikir terus. Apa iya kondisi yang sudah aman-tenteram harus diobrak-abrik hanya untuk suatu hal yang belum tentu lebih baik? Pemikiran semacam itulah yang selalu menjadi palang pintu yang memberati langkah untuk melakukan perubahan, terkecil pun.

Sikap over-harmonis juga merupakan hambatan besar. Sebagai orang Timur kita sering "merasa tidak enak" kalau "melawan arus", mempunyai pendapat berbeda dengan apa yang dianut oleh kebanyakan orang.

Termasuk di dalam hambatan itu adalah sikap takut berbuat salah (padahal tanpa keberanian melakukan kesalahan, tidak bakal ada suatu eksperimen terhadap hal-hal baru) dan keinginan untuk cepat mendapatkan hasil (mengabaikan hukum tanam-tuai).

Di sisi lain, adanya kebiasaan sikap otoriter dari pimpinan, apalagi yang lingkungannya mempunyai aturan kaku-ketat-mekanistik-birokratis, yang menyebabkan "orang muda" selalu diminta untuk tunduk pada mereka yang lebih senior, juga menjadi hambatan besar. Sikap otoriter semacam itu biasanya hanya melahirkan sekumpulan bebek yang selalu bersikap menurut, tidak kritis, dan siap melagukan koor "baik bos, oke bos, beres bos, apa mau bos deh!"

Di lingkungan seperti itu, keberanian melakukan "hal lain" atau kreativitas sudah mati sebelum sempat dikandung dan orang yang senior akan menjadi diktator sewenang-wenang yang tidak dapat disalahkan atau diganggu gugat.

Jadi, kita boleh memilih: bersikap apa adanya dalam menghadapi kehidupan ini (dan merasa tenteram, adem ayem) atau bersikap kritis dan selalu menginginkan hal-hal yang lebih baik dibandingkan dengan apa yang kita punyai sekarang (dan selalu berpikir untuk mencari alternatif terbaik bagi setiap hal). Anda mau memilih yang mana?

Sumber: Sikap Menghadapi Kehidupan oleh Widyarto Adi Ps, Psi, MM,
Psikolog, Trainer

0 komentar: