Wise Word

Rabu, 24 September 2008

Bangkit Setelah Masa-masa Terpahit


PENULIS, humanis, dan pendidik, Leo F Buscaglia (1924-1998), menulis: "To hope is to risk pain. To try is to risk failure. But risk must be taken, because the greatest hazard in life is to risk nothing¦."

Harapan dan kehidupan. Dua hal yang sangat mudah diucapkan, tetapi menjadi tantangan besar pada Irwanto (49) dan Sartono Mukadis (59).

Pertanyaan "why me", misalnya, lebih mendominasi alam pikiran yang melayang liar menyangkali realitas bahwa tubuh yang terkapar itu adalah miliknya. Padahal, Sartono tahu persis bahwa pertanyaan seperti itu hanya akan mendamparkannya ke dalam sumur tanpa dasar karena jawabannya bisa, "why not you?".

Harapan dengan mudah menguap ditelan kemarahan, kekecewaan, kesedihan, sekaligus ketidakberdayaan ketika seseorang harus menerima kenyataan bahwa kondisi tubuh mereka tidak mungkin kembali seperti semula. Embel-embel profesional, segala teori yang dikuasai, dan kekuatan hati seperti apa pun sempat menjadi tak banyak berarti ketika orang berada pada posisi mengalami. "Kita ini manusia biasa, yang kebetulan menjadi psikolog," ujar Irwanto.

Bukan sesuatu yang kebetulan kalau Sartono dan Irwanto adalah psikolog terkemuka di bidangnya masing-masing. Mereka berteman. Sartono Mukadis adalah pengamat sosial yang tulisan dan komentarnya sering muncul di media massa. Ia menaruh perhatian pada sumber daya manusia. Irwanto menaruh perhatian pada masalah pengembangan anak dan kajian keluarga. Bidang studi itu memberinya gelar doktor dari Purdue University, Indiana, AS, tahun 1992, dan kemudian bekerja di Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya (LPA), Jakarta.

Sejak empat tahun lalu Sartono harus bergantung pada kursi roda setelah kaki kirinya diamputasi karena gangrene sudah merambat naik. Gangguan itu bermula dari luka yang tak kunjung sembuh akibat diabetes. Kelingking kaki kanannya diamputasi jauh sebelum ia berangkat pergi untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1997. Namun, pola makan yang tidak pernah berubah membuat luka serupa muncul di telapak kaki kirinya.

Irwanto adalah korban "skandal medis tanpa nama" (kalau tidak boleh disebut sebagai "malapraktik"). Ia masuk RS Internasional Bintaro pada tanggal 27 Juli 2003 sekitar pukul 23.30 karena merasa tekanan yang sangat kuat di dadanya sehingga ia sulit bernapas.

Perawatan dan obat yang diberikan dokter menghasilkan kelumpuhan dari dada ke sekujur tubuh bagian bawah sekitar pukul 17.00 sehari kemudian. Jiwanya sempat hampir melayang. Diagnosis yang terus berubah dan data rekam medis yang tidak transparan membuat situasinya terus memburuk.

Setelah dirawat selama 60 hari di sebuah rumah sakit di Singapura, Irwanto bertahan hidup. Si pemberi inspirasi melalui pengetahuan dan penelitian-penelitiannya itu kembali memimpin LPA sejak awal Januari 2004. Semangatnya segera tertangkap meski semua pekerjaan dilakukan dengan posisi setengah berbaring. Irene, sang istri, dan seorang perawat selalu mendampingi.

"Dibandingkan Pak Irwanto, penderitaan saya bukan apa- apanya," ujar Sartono dengan nada penuh sesal.

PENDERITAAN sebenarnya tak bisa diperbandingkan karena menyangkut pergumulan seseorang dengan dirinya sendiri. Kecuali satu hal: orang yang mengalaminya melalui proses yang hampir sama untuk sampai pada tahap menerima kenyataan sebagaimana adanya dan kemudian bangkit melanjutkan perjalanan.

"Ketika tiba pada tahap awal menerima dengan ikhlas semua ini, semua jalan seperti dibukakan," tutur Sitti Herawati, istri Sartono, yang akrab disapa Erry.

Bagi Irwanto dan Sartono, bertahan hidup saja tidak cukup kalau tidak bisa memberikan sumbangan bagi kebaikan manusia. Perjalanan kembali menuju ke arah itulah yang harus melewati proses sangat terjal.

Optimisme Sartono pasca- operasi Agustus 2002 memudar ketika mendapati kenyataan ia tak bisa membalikkan tubuhnya sendiri. Penyakit itu membuat jantungnya kena, parunya berair. Kondisi kesehatannya labil.

Sampai empat bulan setelah operasi, Sartono hanya merasa kesuraman yang pekat. Pada saat yang sama sebenarnya keluarganya juga mengalami tekanan luar biasa, pada Erry khususnya. Kesibukan anak- anaknya sehingga tidak selalu bisa menjenguk sang ayah,ketertatihan Erry menghadapi segala persoalan sendiri, tidak ditanggapi dengan bantuan psikologis. Sebaliknya, keluarga itu malah dihakimi dengan berbagai "skenario". Ini sempat membuat Erry down.

"Perasaan terhina dan tidak berarti lagi kuat sekali memenuhi diri saya, karena buang air pun harus dibantu," kata Sartono mengenang. Konflik dengan istri dan anak-anaknya sering tak terhindari. Ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan kondisi fisiknya yang baru acap kali membuatnya terjungkal ke titik nadir. Ia menjadi sangat sensitif, juga cengeng, dan demanding.

"Ia jarang bicara. Maunya tidur terus, susah dibawa cek ke rumah sakit," kata Erry. Saat itu, Sartono merasa hidupnya sudah selesai. Selama dua tahun, kondisi psikologisnya pasang dan surut secara tajam. Sementara di luar, orang menganggap keluarga itu pasti bisa mengatasi masalahnya karena baik Sartono maupun Erry sama-sama psikolog.

Suatu hari, ketika sudah berada di mobil sehabis kontrol ke rumah sakit, seseorang yang tidak dikenal tiba-tiba muncul dan mengatakan, "Pak, Anda jangan depresi ya. Nanti Anda tidak bisa menguatkan orang lain."

Peristiwa itu seperti membuka kesadarannya. Namun, untuk bangkit dan menerima keadaannya, tetap bukan hal yang mudah. Sampai pada suatu hari pada pertengahan bulan Juni tahun 2002, temannya, Aida Ismed Adullah, minta tolong agar Sartono membantunya membuka klinik psikologi di Pulau Batam. Tawaran pertama tak dijawab. "Bergerak saja setengah mati, mana mungkin saya terbang ke Batam?" katanya.

Namun ia sadar, ada masalah riil yang dihadapi. Keuangan keluarga kacau-balau sejak ia sakit. Toh bukan itu motivasi utamanya.
"Perasaan bahwa saya masih dibutuhkan bahwa hidup saya masih berarti, itu yang terutama," tuturnya.

Pertama menginjakkan kaki lagi ke Bandara Soekarno-Hatta berbagai perasaan berkecamuk. Akan tetapi, langkah itu juga menjadi semacam "turning point" yang membangkitkan semangatnya untuk kembali tegak menghadapi dunia nyata.

Sartono tak bisa mengelak bahwa hidupnya kini ditopang oleh 15 jenis obat setiap hari. Kenyataan itu membuatnya harus terus berjuang untuk menerima keadaannya dengan hati ikhlas. Dan itu bukan hal yang mudah¦.

"SANGAT tidak mudah¦," sergah Irwanto. Kondisi "stabil" yang dipahami secara umum tidak berlaku pada Irwanto dan Sartono. Pada mereka, keikhlasan harus direbut dari diri sendiri, di antara perasaan-perasaan lain yang saling berkompetisi dalam bayang-bayang penderitaan yang tak selalu bisa diungkapkan.

"Saya lega ketika akhirnya bisa memaafkan dokter yang menyebabkan saya lumpuh," ujar Irwanto pelan. Kemarahan yang ia pendam hanya mendatangkan rasa sakit. Penyesalan yang ia tumpuk hanya mendatangkan rasa pahit.

Namun, memaafkan bukan berarti melupakan apa yang dilakukan dokter itu terhadap dirinya. Irwanto tidak pernah melupakan peristiwa yang memutar balikkan dunianya dalam sekejap. Begitu pun Irene, sang istri.

"Bagian dada ke bawah benar-benar mati. Saya shock betul. Sebagian tangan langsung tak bisa digerakkan, tapi otak saya bekerja baik," kenangnya. Irwanto sempat berada dalam situasi antara hidup dan mati di RS Bintaro. Lalu keluarga minta agar Irwanto dipindahkan ke RS lain. Diagnosis dokter di situ lain lagi. Kali ini, katanya, ia terserang cytomegalovirus (CMV).

Di RS itu depresi menyerangnya. Ia tidak mau melihat cahaya, tidak mau mendengar suara. Ia bahkan menolak mendengarkan kaset pentas anak sulungnya. "Tidak ada yang terpikir selain, 'Tuhan, pekerjaan saya masih banyak. Apa salah saya? Kenapa saya tidak diambil saja?' Tapi di lain pihak, saya ingin melihat anak-anak saya jadi orang. Saya ingin hidup."

Dalam situasi yang amat menekan itu bukan penghiburan yang didapat, juga bukan dukungan psikologis. Empati dari dokter sangat tipis. Vonis bahwa Irwanto tidak mungkin bertahan disampaikan dokter kepada Irene di lorong rumah sakit. Pandangan bahwa pasien tak lebih dari komoditas terasa ketika ibu dua anak itu ditegur untuk segera membayar kekurangan biaya perawatan. Kalau tidak, hari itu juga Irwanto akan dipindah ke kelas tiga.

Situasi itulah yang membuat Irene nekat membawa Irwanto ke Singapura. Dengan bantuan dana yang dipinjam dari sanak keluarga dan teman-teman, Irwanto dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura. "Di sana saya merasa diperlakukan sebagai manusia. Para dokter memeriksa dan mewawancarai saya secara amat teliti," ujar Irwanto. Kemungkinan kekeliruan diagnosis terkuak di rumah sakit itu.

Di Singapura ia punya waktu untuk menemui dirinya sendiri, tetapi masih belum bisa menerima keadaan. Ia baru "terbangun" ketika pada hari keempat dokter datang dan dengan pelahan mengatakan, kecil kemungkinan bagi Irwanto untuk bisa berjalan lagi. "Dokter bilang, tidak ada yang berubah dari Irwanto. Ia bisa berkarya dari kursi roda. Otaknya tidak mengalami cedera apa pun," kenang Irene.

Pertolongan yang lain sering datang tak terduga. Itulah misteri hidup. Di bangsal itu ada Mr Ong yang selalu mengingatkan, "Jangan lawan penyakitmu. Terima apa adanya. Pikirkan apa yang bisa dilakukan ke depan. Jangan melihat ke belakang terus." Optimisme Irwanto terus ditumbuhkan sampai ia mau ikut latihan fisik. "Sangat pelan dan mulai dari awal karena menggerakkan jari tangan pun sakit sekali," katanya.

Menurut Irwanto, para dokter, fisioterapis, konselor, dan semua orang yang berhubungan dengan mereka di RS sangat membesarkan hati. Kemajuan sekecil apa pun selalu mendapat apresiasi. Termasuk ketika, setelah berusaha setengah jam, Irwanto mampu memakai baju sendiri.

Selama delapan minggu sebelumnya, organ pencernaan Irwanto lumpuh. Di Singapura ia mencoba minum susu. Awalnya berhasil, tetapi lalu ususnya berdarah. "Saya down lagi. Tapi Mr Ong bilang, mundur untuk maju. Jangan putus asa."

Kondisi beberapa pasien yang jauh lebih serius, membuat semangat Irwanto semakin besar. Menjelang pulang, Irwanto sudah bisa menggerakkan jari tangannya. Tetapi berat badannya hilang sampai belasan kilo. Masalah lain muncul: ia takut pulang. Takut anak-anaknya malu dengan kondisi ayahnya.

Irene kemudian berusaha menghubungi dua anak perempuannya dan pelan-pelan memberitahu kondisi ayah mereka. "Di luar dugaan, anak sulung kami mengatakan, 'It's OK Ma. This is the way we have to go. Just go¦'. Ketika mengucapkan kalimat itu, Irene meneteskan air mata, Irwanto juga. Sedu sedan mereka memecahkan keheningan siang di ruangan itu.

RITME hidup di rumah keluarga Irwanto pun berubah, disesuaikan dengan kondisi Irwanto, yang hampir semua kegiatan hidupnya harus dibantu. Termasuk buang air besar dan kecil. Ia juga harus memakai popok. "Sehari sebelum bekerja lagi, saya konsultasi sama Irene karena setiap saya bergerak selalu keluar kotoran. Saya khawatir baunya mengganggu orang lain," kata Irwanto.

Menurut Irene, Irwanto sebenarnya takut bertemu teman- teman lamanya, takut melihat reaksi mereka. Tetapi semua itu ternyata tak berdasar. "Ini mukjizat luar biasa," ujarnya setelah melihat tubuhnya tidak bereaksi seperti yang ia khawatirkan.

Sebelum peristiwa pahit itu terjadi, Irwanto banyak membantu teman-temannya di organisasi nonpemerintah memberikan pelatihan mengenai posttraumatic stress disorder (PTSD). Kini ia siap membantu mengatasi PTSD pada para korban cacat akibat ledakan bom. "Barangkali mereka akan lebih percaya, karena kondisi saya sama seperti mereka," ujar Irwanto.

Dalam hal itu, trauma terutama disebabkan oleh rasa sakit yang konstan selama 24 jam. "Pada korban bom, bekas luka- luka yang menganga itu sakitnya bukan main. Pada saya, tangan ini sering saya pukul- pukulkan karena sakitnya enggak keruan. Namun, trauma sebenarnya juga membuat kita bertanya, siapa kita, dan apa artinya semua ini," lanjutnya.

Setelah masa-masa paling pahit terlalui, keluarga mereka harus memperteguh komitmen untuk mendorong dan terus menemani mereka melanjutkan perjalanannya. "Saya sedang menyiapkan buku judulnya Melihat Dunia dari Kursi Roda, kata Sartono.

Irwanto akan melanjutkan penelitian-penelitiannya yang tertunda. Pekan kemarin ia sudah ikut menguji mahasiswa S-3 di Universitas Indonesia di Depok.

Sartono dan Irwanto akan memperpanjang barisan para tokoh yang terus berkarya dalam keterbatasan fisiknya, seperti penyair John Milton dari Inggris yang mengalami kebutaan pada usia 43 tahun. Mereka tegak menghadapi risiko apa pun, demi harapan, kehidupan dan kemanusiaan. Ayo! (MH)

Sumber: KCM - 17 Oktober 2004

0 komentar: