Wise Word

Rabu, 24 September 2008

Ambisi dapat menjadi racun


Kebanyakan kita selalu hidup dipenuhi dengan ambisi, walaupun hal itu tidaklah salah, sebab hidup tanpa ambisi sama sekali menjadikan kita kosong, tanpa tujuan dan monoton. Yang menjadi salah serta menimbulkan masalah adalah kita diperbudak ambisi yang menimbulkan mimpi-mimpi muluk tanpa melihat realitas lagi.

Sebagai contoh seseorang yang bercita-cita membangun gedung pencakar langit, tentu saja diperlukan kerja keras untuk membuat dulu fondasinya, agar bangunan kokoh dan aman. Tetapi, seseorang yang hanya dipenuhi ambisi untuk menciptakan/memiliki gedung pencakar langit, dia bisa berbuat di luar nalar, tidak melihat realitas lagi, tanpa memedulikan apakah fondasi untuk cita-citanya tersebut sudah direncanakan dan dibuat sebaik-baiknya.

Demikian juga dengan kehidupan, kita sering kali hanya mengejar apa yang namanya harta benda, kita menimbun sebanyak-banyaknya, tetapi kita lengah untuk belajar bagaimana harta benda itu bisa tetap kita miliki dan bertumbuh dalam segala cuaca kehidupan. Yang terpenting harta itu membuat kita hidup bahagia, bukan membuat susah dan gelisah karena takut dirampok, takut kehilangan dan sebagainya.

Banyak orangtua merasa tenang jika sudah bisa mempunyai harta yang dicita-citakan untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Menurut orang yang berpikiran seperti itu, semakin banyak harta yang bisa aku berikan kepada anak, akan lebih baik dan tenanglah dirinya menjalankan sisa hari tuanya.

Mewariskan harta benda yang berlimpah kepada anak-anak juga bukan hal yang dilarang! Tetapi, alangkah bijaksananya kita sebagai orangtua bila bisa mulai mengajari anak-anak kita untuk memelihara dan menumbuhkan harta yang sudah kita limpahkan kepada mereka.

Kita melihat perusahaan keluarga di negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa. Terkesan sampai sekarang hal itu tetap ada dan bertambah maju dengan total aset yang semakin bertambah. Berbeda dengan perusahaan keluarga yang berada di Tanah Air, kita melihat begitu sang orangtua meninggal dan mewariskan kepada penerusnya, yang terjadi adalah perebutan kekuasaan, dan ironisnya warisan tersebut dipecah-pecah untuk dimiliki pribadi-pribadi dan menjadi berkeping-keping, sehingga menjadi perusahaan kecil yang harus kembali bangkit dan merintis secara baru lagi, sehingga tidak jarang kita melihat perusahaan yang tadinya besar sekarang berubah menjadi perusahaan baru yang berumur tidak lama karena tidak tahan dilibas keadaan dan persaingan ketat dunia usaha.

Penulis pernah merenung tidak mengerti, kala mendapati kenyataan seorang sahabat dilarang orangtuanya untuk menikah dengan anak orang kaya yang berlimpah harta benda. Malah orangtua sahabat tersebut memberi nasihat kepada anak gadisnya untuk memilih seorang karyawan di perusahaannya, dengan keteria bahwa orang itu pintar, berbakat dalam bidangnya, serta berdedikasi dalam pekerjaan.

Dalam pemikiran kebanyakan orang pasti bertanya: "Kenapa harus repot-repot mencari yang baru akan mentas, kalau sudah ada yang berlimpah harta kekayaan." Itu dilakukan setelah melihat kenyataan betapa banyak anak-anak yang mendapat warisan berlimpah menjadi seorang manusia yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang dengan segala ambisinya. Seberapa banyak pun jumlahnya harta warisan orangtua bisa habis, bahkan dalam waktu cepat, jika pewarisnya tidak dibekali pendidikan yang baik untuk mengelola aset dan akhlaknya. Sedangkan seorang yang mempunyai bakat serta kerja keras dan berdedikasi, akan mampu menjadi seseorang yang sukses, dan tentu saja yang berpotensi mempunyai harta berlimpah. Itu dia dapatkan sebagai bukti perjuangan hidupnya, bukan hanya sebagai penerima warisan, tetapi pencipta kelimpahan untuk diri dan keluarganya.


Besar Pasak daripada Tiang

Nah, pepatah itu sangat popular, dan memang demikianlah keadaan keuangan kita yang masih berada di tingkat menengah ke bawah. Kita bekerja mengejar karier, agar mendapat penghasilan yang lebih besar, tetapi sejalan dengan itu pengeluaran kita pun bertambah besar seiring dengan keadaan, bertambah anak, biaya pendidikan, belum lagi biaya hidup yang lebih maju dari pada upah kita di tempat bekerja. Dengan siklus yang demikian, banyak pasangan muda frustasi dalam menjalani hidup.

Sistem pendidikan di negara kita saat ini adalah mendidik anak untuk mengasah otak, agar mendapat nilai bagus untuk tiap mata pelajaran, sehingga jangan heran ketika anak-anak yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, selepas SMU saja pergi untuk bekerja sebagai tenaga administrasi ringan, mereka kesulitan beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungannya.

Banyak anak lulusan perguruan tinggi melamar pekerjaan dengan membawa ijazah yang berisi nilai bagus, tetapi begitu bekerja yang dianggap sesuai dengan bidang pendidikannya, mereka tidak bisa menyesuaikan tuntutan pekerjaan. Mereka tidak siap menjadi profesional, mereka kurang gigih dan kurang berdedikasi.

Nah, mengapa hal itu terjadi? Sebab, anak-anak tersebut hanya mendapatkan pendidikan sekitar mata pelajaran, yaitu bagaimana mendapat nilai bagus! Mereka tidak dibekali dengan bagaimana mereka harus mengembangkan diri keluar dari apa yang didapat dari dalam kelas. Mereka harus banyak belajar dan bertanya, membuka wawasan dan mendengarkan saran dan yang terpenting berani menerima kritikan untuk bisa maju.

Belum lama ini, penulis terkagum-kagum akan sistem pendidikan yang diterapkan suatu perguruan tinggi, ketika dalam hal mendidik siswan mereka mengembangkan perkembangan pribadi dan daya juang mereka. Sebagai contoh, untuk bisa masuk dalam Club Senior yang diyakini oleh juniornya, bahwa dalam club/kelompok itu mereka bisa mendapatkan banyak wawasan dan pelajaran dari para senior, melebihi yang diberikan dosen di dalam kelas.

Untuk memasuki Club Senior, kapasitas yang diterima hanya 500 orang. Parajunior yang berjumlah 6.000 orang harus mendaftar dengan antrean yang melelahkan, dan disaring melalui tiga gelombang penyaringan selama tiga minggu berturut-turut.

Yang membuat kagum, para junior itu rela berangkat dari rumah jam empat Subuh, agar sampai di tempat antrean 1 jam kemudian untuk mendapat nomer antrean di bawah angka seratus! Sehingga, tidaklah heran untuk para yunior yang berhasil masuk dalam kelompok itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Para Senior yang ada dalam kelompok itu tidak mengecewakan mereka, dalam memberi pengalaman-pengalaman dan ilmu-ilmun mereka.

Dari contoh di atas, kita melihat Club Senior itu sudah menyaring antara anak-anak yang gigih dengan anak-anak yang malas sebab tidak jarang kita mendengar dari para yunior yang tidak mau ambil bagian dalam kegiatan senior itu berkata dengan sinis: "Buat apa, susah-susah masuk ke situ. Toh pelajaran yang benar kita dapat didalam kelas, dengan dosen-dosen yang punya kewajiban karena kita sudah keluarkan biaya kuliah."

Penting kita melihat dan mengetahui peluang yang disodorkan ke hadapan kita untuk hidup lebih maju dan bahagia. Sekali lagi jangan terobsesi dengan ambisi, tetapi prestasi hiduplah yang harus kita raih, dan perlu diingat prestasi sukses bukan hanya berupa tumpukan harta benda, tetapi termasuk di dalamnya kebahagiaan lahir batin.

Sumber: Prestasi dan Ambisi oleh Lianny Hendranata

0 komentar: